[4th Chapter] Vengeance

Standard

Vengeance

Main Cast:

  • [CNBlue] Jung Yong Hwa
  • [OCs] Catherine Kim
  • [CNBlue] Lee Jong Hyun

Minor Cast:

  • No one for this chapter

Genre: Family, Romance, Angst, Friendship, AU, Thriller

Rating: PG-16/17

Disclaimer: Storyline, OC, and picture belong to me. The main idea of the story is inspired by manga/anime Black Butler a.k.a Kuroshitsuji. This fanfic is only a fictional story.

Note: Bagi yang tahu anime/manga Kuroshitsuji a.k.a Black Butler, pasti tahu kalau tokoh butler dalam cerita itu (re: Sebastian) is a demon. But in this fictional fic, the butler‘s character isn’t a demon like Sebastian. He is just a kind of human butler after all xD

***

[Chapter 4]

– Girls are made of sugar, spice, and everything nice. They’re made out of this and that –

Kuroshitsuji

Lee Jong Hyun

Kesedihan. Kesendirian. Rasa sakit karena mencari sebuah kepedulian dan kasih sayang. Dan keinginan untuk hidup bahagia, layaknya seperti seorang gadis seusianya.

Aku tahu dan aku paham akan perasaan-perasaan itu. Hal-hal yang selalu tampak ketika aku memandang sepasang mata itu, hal-hal yang membentuk pribadi seorang Catherine Kim menjadi seperti sekarang ini.

Tapi jauh, jauh dibalik semua itu, aku meyakini satu hal. Gadis itu tidak hanya memiliki hal-hal yang bersifat negatif semata, masih ada banyak hal positif yang membentuk gadis itu. Seorang perempuan sepertinya, tidak mungkin bisa terus-menerus menanggung beban mental yang seberat itu. Entah itu kenangan manis, kasih sayang orangtuanya yang mungkin masih selalu ia ingat, kepandaiannya, atau mungkin kelebihan lain yang dimilikinya, aku yakin bahwa seorang Catherine Kim pasti juga memiliki sebuah sisi yang menyenangkan. Sisi manisnya sebagai seorang gadis, yang penuh dengan senyuman dan aura bahagia.

Sisi yang saat ini, seakan tertutup oleh awan kelabu. Bagaikan mendung gelap yang menghalangi cerahnya mentari.

“Kenapa kau memandangku seperti itu?” gumaman Catherine membuatku tersadar dari lamunanku. Saat ini kami sedang berada di perpustakaan, mengerjakan tugas berdua. Aku tidak tahu kenapa, tetapi setelah kejadian berbagi makan siang beberapa hari yang lalu, Catherine mulai membuka dirinya terhadapku. Setidaknya, ia tidak bersikap sinis atau kembali mengabaikanku.

“Tidak. Bukan apa-apa,” tundukku malu, berusaha menyembunyikan wajahku.

“Jong Hyun-ssi, kau mau makan dimana siang ini?”

Aku mengangkat wajahku, menatapnya heran. Gadis ini sudah benar-benar berubah. Buktinya, ia bersikap begitu ramah padaku.

“Entahlah… mungkin di cafetaria sekolah. Kenapa?”

“Mmm… itu… aku,” Catherine tampak ragu untuk menyelesaikan ucapannya, tetapi aku menantinya dengan sabar.

“Aku membawa cukup banyak makanan. Bagaimana kalau kita… kita…”

“Makan siang bersama?” potongku sambil menahan rasa geli. Sudah kubilang kan, gadis ini masih memiliki sisi yang baik hati dan menyenangkan. Hanya saja, ia sudah terlalu lama menyembunyikannya dan juga terlalu malu untuk membawanya keluar lagi.

“Ya. Kau… mau?”

“Tentu,” jawabku ringan. Aku memang ingin mengenal Catherine lebih dalam, berharap aku bisa menjadi teman dekatnya dan menyingkirkan mendung yang menghalangi senyumannya.

“Satu lagi, jangan memanggilku dengan embel-embel –ssi. Panggil namaku saja. Kita berteman kan?”

***

Catherine Kim

“Jong Hyun-a?” panggilku ragu-ragu. Perasaan aneh mulai menggelitik diriku. Mungkin aku hanya belum terbiasa untuk memanggilnya secara akrab seperti ini.

“Ya?”

“Itu… tidak aneh kan?” ucapku lagi. Kata-kataku terdengar tidak beraturan, membuatku merasa malu.

“Ini? Maksudmu rasanya? Tenang saja, ini enak kok!” jawabnya sembari mengacungkan sepotong kimbap buatanku. Maksudku, benar-benar buatanku, tanpa sentuhan tangan Yong Hwa oppa barang sedikitpun.

Well, baiklah. Dengan sedikit bantuan Yong Hwa oppa. Hanya membantu menyiapkan bahan saja, itu tidak dihitung kan?

“Benarkah?”

“Tentu saja, untuk apa aku berbohong?” sahutnya sembari menampilkan senyum termanisnya. Aku membalas senyumnya, masih merasa sedikit canggung.

Kami berdua terdiam, sama-sama sibuk mengunyah makan siang kami dengan lahap. Entah kenapa, keheningan ini terasa menyenangkan bagiku. Aku tidak perlu bersusah-payah mencari topik pembicaraan ataupun berusaha mengakrabkan diri dengannya. Tidak seperti keheningan yang canggung saat aku bersama dengan teman-temanku yang lainnya, aura di antara kami sangatlah nyaman dan santai.

Aku meliriknya sekilas, masih merasa heran dengan sosoknya yang kuanggap misterius. Jong Hyun memang baik, ramah, dan ia adalah tipe orang yang mudah berteman dengan siapapun. Tapi aku yakin, bahwa ia mempunyai sebuah rahasia dibalik sikap cerianya itu. Sorot matanya memberitahuku segalanya. Ketika mata kami bertatapan, entah kenapa aku merasakan sebuah perasaan akrab, perasaan bahwa kami saling berbagi penderitaan yang sama melalui pandangan mata kami. Mungkinkah itu? Mungkinkah ia juga menyembunyikan sebuah masa lalu yang kelam, sama sepertiku?

“Rasanya… seperti buatan ibuku,” gumam Jong Hyun perlahan. Aku mengangkat kepalaku, dan mata kami pun bertemu. Kali ini, aku bisa melihatnya lagi. Binar mata yang penuh penderitaan dan kerinduan itu. Mata yang sama sepertiku setiap kali aku sedang teringat akan kedua orangtuaku.

“Ibumu?” ulangku seperti orang bodoh. Aku tidak yakin harus memberi jawaban apa pada saat-saat seperti ini.

“Ya. Ibuku… beliau sudah meninggal beberapa tahun yang lalu…”

Aku tersentak, semakin tidak tahu harus berkata apa. Berarti perkiraanku selama ini benar, bukan? Ia juga menyembunyikan sesuatu dibalik sifat cerianya itu.

“Begitu?” sahutku lirih sembari menundukkan kepalaku. Aku bisa merasakan kedua mataku mulai memanas. Topik tentang orangtua adalah sesuatu yang selalu kuhindari selama ini. Membicarakan tentang orangtua dan juga kematian adalah sesuatu yang selalu membuatku menangis. Kekejaman yang telah para pembunuh itu lakukan pada kedua orangtuaku… itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk kulupakan begitu saja. Bahkan jika aku menghabiskan seumur hidupku untuk berusaha melupakannya, kupikir aku tidak akan sanggup.

“Cath? Kau… menangis?”

Aku menggeleng pelan, tahu bahwa itu adalah suatu kebohongan besar. Aku bisa merasakannya, butir-butir air mataku yang mulai mengalir menuruni kedua belah pipiku. Kuangkat telapak tanganku, berusaha menghapus air mata yang membasahi wajahku. Aku tidak mau terlihat seperti ini, tidak di hadapannya. Catherine Kim bukanlah orang yang lemah.

“Maaf… Aku tidak bermaksud untuk mengingatkanmu akan mendiang orangtuamu,” bisik Jong Hyun penuh penyesalan.

“Darimana kau tahu, Jong Hyun-a? Mendiang orangtuaku? Tahu darimana kau bahwa mereka sudah meninggal dunia?” ucapku cepat. Semua perasaan sedihku tadi lenyap sudah, digantikan rasa penasaran. Bagaimana laki-laki ini bisa mengetahui segalanya tentang diriku? Ia baru saja pulang dari luar negeri bukan? Tidak seharusnya ia mendengar berita tentang kematian kedua orangtuaku.

“Aku mendengar beberapa orang murid membicarakanmu dan aku mencari tahu lewat internet. Maaf, bukan berarti aku bermaksud tidak sopan…”

Aku menyipitkan mataku, menatap kedua mata Jong Hyun. Entah mengapa, aku merasa bahwa dia jujur akan kata-katanya itu. Aku mengangguk mengerti, berusaha menenangkannya.

“Sekali lagi, maaf…” kata Jong Hyun sembari beringsut menghampiriku. Aku bisa merasakan tubuhnya yang semakin merapat dengan tubuhku, lengannya yang mulai melingkar di bahuku dan menepuk-nepukku lembut. Gelombang kehangatan mulai mengalir di tubuhku, perasaan yang amat langka untuk kurasakan. Biasanya, otakku akan segera memberi perintah untuk menarik diriku dalam situasi seperti ini, namun kali ini aku mengabaikan akal sehatku.

Laki-laki ini mengerti diriku. Ia berempati padaku, bukan hanya perasaan simpati dan iba semata. Aku bisa merasakannya.

“Jong Hyun-a…

“Aku tidak pernah mengetahui apa penyebab ibuku meninggal,” potong Jong Hyun sebelum aku sempat berkata-kata. Aku terdiam lagi, melirik wajahnya yang saat ini cukup dekat denganku.

“Maksudmu? Ibumu…?”

Abeoji hanya berkata padaku bahwa beliau sudah meninggal, tanpa mengatakan apa penyebab di balik kematiannya. Waktu itu, aku cepat-cepat kembali ke Korea dan menghadiri pemakamannya.”

“Kau tidak mencoba bertanya?”

“Tentu saja aku bertanya,” gumam Jong Hyun sembari tersenyum kecut. “Namun, Abeoji tetap saja menutup mulutnya rapat-rapat, bahkan kepada anak kandungnya sendiri.”

Jong Hyun menghela napas panjang, lengannya masih tersampir di bahuku. Perlahan, aku pun melepaskan diri dari rangkulannya dan berbalik untuk menatap wajahnya. Jong Hyun balik memandangku, awan mendung itu masih tampak di wajahnya.

“Terima kasih banyak, Jong Hyun-a…”

“Untuk?”

“Karena kau membuatku tidak merasa sendirian di dunia yang kejam ini,” gumamku sembari mengulurkan tangan dan menepuk pundaknya dengan penuh semangat. Aku tidak suka terus berlarut-larut dalam kesedihan. Merasa sedih tidak akan mengubah keadaanmu menjadi lebih baik.

“Sama-sama, Cath. Boleh aku memanggilmu seperti itu?”

Aku menelengkan kepalaku sejenak, mempertimbangkannya.  Setelah beberapa detik lamanya, aku pun menggelengkan kepalaku dengan tegas. “Tidak.”

“Tidak? Kenapa?” aku bisa mendengar nada protes dalam suara Jong Hyun. Aku tersenyum jahil, kemudian berjalan mendahuluinya kembali ke kelas.

“Hei! Catherine Kim! Lalu aku harus memanggilmu apa? Namamu itu terlalu panjang, kau tahu!”

“Kau boleh memanggilku Cathy kalau kau mau,” balasku sambil tetap berjalan, sementara langkah-langkah kaki Jong Hyun terdengar menyusulku dengan cepat. Ya, aku sudah merelakannya. Nama itu, panggilan kesayangan Yong Hwa oppa untukku. Aku akan membiarkan laki-laki yang sudah membuatku bisa tersenyum tulus ini untuk memanggilku dengan nama itu.

***

Jung Yong Hwa

“Oppa!”

Seorang gadis kecil berkuncir dua berlari menghampiriku. Aku melebarkan kedua lenganku, menangkap gadis itu dalam pelukanku. Kami berdua tertawa lepas, merasakan kehangatan mengaliri tubuh kami.

Oppa kau akan mengajakku bermain ‘kan hari ini?” suara manjanya menggelitik telingaku. Aku mengangguk mantap, membuat senyum di wajahnya tertarik semakin lebar.

“Maaf ya Yong Hwa, kau harus menjaga anak kami yang manja ini sementara kami berdua pergi ke luar negeri,” ujar suara bernada kebapakan itu. Aku menoleh, mendapati Tuan dan Nyonya Kim serta ayahku yang sudah berdiri di ambang pintu mobil.

“Tidak apa-apa sajangnim.”

“Yong Hwa-ya, ayah pergi dulu mengantar Tuan dan Nyonya Kim. Jaga nona Catherine baik-baik ya,” pesan ayahku. Aku mengangguk dan mengangkat jempolku, memberi tanda bahwa kami akan baik-baik saja.

Tuan dan Nyonya Kim melambai padaku dan Catherine, kemudian masuk ke dalam mobil mereka. Ayah menepuk puncak kepalaku pelan, sebelum akhirnya masuk dan duduk di balik kemudi mobil.

“Baiklah, kau mau main apa, Nona?” ucapku sembari membiarkan Catherine menaiki punggungku. Setelah memastikan dia aman di sana, aku pun mengangkatnya dan membawanya ke taman belakang rumah.

“Terserah Oppa saja!”

“Hmm… Oppa tidak punya ide sama sekali. Beri Oppa saran dong, Nona Cathy!”

“Tidak mau!” balas Catherine sembari menarik tubuhnya turun dari gendonganku dan berlari mengelilingi taman. “Kalau Oppa bisa menangkapku, baru aku akan memikirkan sebuah ide yang menarik!”

Aku tertawa kecil, merasa tertantang. Aku mulai menggerakkan kedua kakiku, berlari menyusul Catherine yang sudah bersembunyi di balik pohon. Kami terus berkejar-kejaran sampai akhirnya aku berhasil menarik ujung bajunya dan membuatnya tersandung. Kami berdua jatuh bersamaan, berguling-guling di atas rumput hijau sambil tertawa lepas.

Matahari bersinar cerah, secerah perasaan kami. Kami berbaring sejenak di atas rumput, menatap langit biru dan awan-awan putih di atas sana. Tetapi lama-kelamaan, sinar matahari terasa begitu menyilaukan mataku, membuatku harus mengerjapkan mata dan mengangkat tangan untuk menghalaunya. Aku mengerang kesal, merasa terganggu dengan sang mentari yang tampaknya semakin kuat memancarkan panas dan sinarnya.

“Oppa! Oppa!”

“Yong Hwa oppa!”

Aku mengerjap kaget, kemudian membuka mataku lebar-lebar. Matahari bersinar cerah, menembus lapisan tirai putih tipis jendela kamarku, langsung menyinari meja tempatku tertidur tadi. Aku menoleh mencari-cari asal suara dengan bingung, pikiranku masih bercampur aduk dengan mimpiku barusan. Mimpi yang menggambarkan kembali semua memori masa kecilku dan nona Catherine.

Oppa, kau bermimpi buruk, ya?”

Catherine berdiri di sampingku, matanya menyiratkan kekhawatirannya terhadapku. Kugelengkan kepalaku perlahan, kemudian bangkit berdiri dan menepuk puncak kepalanya pelan.

“Tidak kok, Oppa malah baru saja bermimpi indah.”

“Benarkah? Oppa kelihatan sangat lelah. Memangnya Oppa tidak tidur semalaman?” selidiknya penasaran. Aku tersenyum kecil, kemudian menunjuk setumpuk kertas yang ada di atas mejaku.

“Begitulah. Setidaknya, saya sudah menemukan semua data keluarga dari pemilik LD Corporation,” ucapku bangga. “Nona, mau melihatnya terlebih dahulu?”

Catherine menatapku sekilas, kemudian menggelengkan kepalanya perlahan.

“Tidak perlu. Oppa, kau istirahat dulu saja sebelum membuatkan makan malam untukku. Lalu soal pembalasan dendamku…”

“Saya akan melaksanakannya malam ini juga kalau Nona menghendaki.”

Oppa tidak perlu terburu-buru. Laksanakan saja rencana itu besok malam, aku tidak keberatan kok. Sepertinya Oppa butuh istirahat lebih.”

“Saya baik-baik saja kok Nona. Buktinya, saya baru saja bangun tidur ‘kan?” sahutku yakin sambil tersenyum ceria, menunjukkan bahwa aku sedang merasa bersemangat.

“Ck, jangan membohongiku Oppa. Mana mungkin kau baik-baik saja setelah tertidur dalam posisi telungkup di atas meja seperti itu? Semua orang tahu bahwa tidur dalam posisi seperti itu hanya akan membuat seluruh badanmu terasa pegal,” celoteh Nona Cathy panjang lebar.

“Tapi, Nona…”

“Ini perintah, Jung Yong Hwa,” tegasnya sembari berlalu keluar dari kamarku dengan senyum usil terpasang di wajahnya. Aku mengangguk mengiyakan, diam-diam merasa senang melihat Nona Catherine begitu memperhatikan kesehatanku.

“Oh iya Oppa, aku sedang ingin makan jajangmyun. Tolong belikan itu untuk makan malamku nanti, ya?”

“Tentu saja, Nona. Saya mengerti.”

***

Lee Jong Hyun

Abeoji?”

Aku mendorong pintu ruang kerja ayahku dan mendapati kekosonganlah yang menyambut kedatanganku. Padahal baru beberapa menit yang lalu ayahku berada di dalam ruang kerjanya, dan sekarang beliau sudah pergi lagi?

“Tuan Muda?”

Kutolehkan kepalaku, dan aku langsung mendapati Park Ajeossi –salah satu pelayan di rumahku ini –sedang memandangku dengan tatapan bertanya.

“Oh, Ajeossi. Kau melihat ayahku?”

“Baru saja Lee sajangnim kembali ke kantornya, Tuan Muda,” jawab Park Ajeossi. Aku mengangguk paham, perasaan kesal dan sedih mulai merambatiku.

“Ada yang bisa saya bantu, Tuan Muda?”

“Tidak. Tidak perlu,” gumamku pelan. Park Ajeossi membungkukkan badannya sedikit ke arahku, kemudian berlalu pergi. Aku kembali menatap kamar kerja ayahku, kemudian menghembuskan napas panjang.

Padahal, hari ini aku berencana untuk mengobrol dengan ayahku barang sejenak. Sejak aku kembali ke Seoul, aku belum pernah merasakan adanya kasih sayang seorang ayah kepada anaknya. Kami hanya bertemu dan saling menyapa di pagi hari, tidak pernah sekalipun kami bercakap-cakap layaknya hubungan ayah dan anak. Hari ini, ketika aku melihat ayahku berada di rumah lebih awal daripada biasanya, kupikir aku telah menemukan suatu kesempatan bagus untuk menjalin hubungan lebih dekat dengan beliau. Ternyata aku salah. Beliau pulang lebih awal karena ada masalah dengan pekerjaannya. Bukan karena ingin menemuiku.

Aku memandang ruang kerja ayahku lagi, perasaan sebal mulai muncul di benakku. Heran, apa sih menariknya tumpukan-tumpukan kertas dan dokumen itu? Memangnya Abeoji tidak bosan ya, terus-menerus berkutat dengan setumpuk kertas dan tulisan itu?

Kulangkahkan kakiku memasuki ruang kerja ayahku dengan penuh rasa penasaran. Lagipula, selama ini aku tidak pernah tahu apa yang sebenarnya dikerjakan oleh ayahku. Mengintip sekali-kali tidak masalah ‘kan? Sebagai anak, tentunya aku berhak mengetahui detail dari pekerjaan ayahku sendiri, benar begitu?

Kuedarkan pandangku ke sekeliling ruangan sebelum akhirnya aku menghempaskan tubuhku di atas kursi kerja ayahku. Tumpukan berkas-berkas di hadapanku itu sama sekali tidak membuatku tertarik. Laporan keuangan, laporan perusahaan, data karyawan, evaluasi perusahaan, dan setumpuk kertas lainnya yang berisi hal-hal yang tidak kumengerti. Bosan, aku pun mulai menarik laci-laci yang ada di meja kerja ayahku. Sampai akhirnya aku sampai pada laci paling bawah, dimana hanya terdapat sebuah map bertuliskan “RAHASIA” di atasnya.

Merasa tertarik, aku meraih map itu dan mulai membukanya. Setelah memastikan tidak ada seorang pun yang berada di depan kamar ini, aku mulai memusatkan perhatianku pada kertas di hadapanku ini. Kertas yang ternyata adalah sebuah laporan dari pihak kepolisian.

Tunggu dulu! Kepolisian? Memangnya ayahku telah berbuat suatu kejahatan?

Kupusatkan perhatianku pada selembar kertas itu dan aku segera mendapati sebuah nama yang tidak asing lagi bagiku. Nama ibuku. Rupanya berkas itu adalah laporan mengenai kematian ibuku dan juga penyebabnya. Mataku bergerak dengan cepat, menyusuri setiap kalimat yang tercetak di atasnya. Aku bisa merasakan keringat dingin mulai mengalir di sekujur tubuhku dan jantungku berdebar kencang. Sebentar lagi, sebentar lagi aku akan mengetahui kebenaran di balik kematian ibuku.

Penyebab kematian: Gantung diri

Mataku membelalak lebar, terkejut melihat kata-kata itu. Gantung diri? Itu artinya, ibuku bunuh diri? Tapi kenapa? Menurutku, beliau tidak punya alasan sama sekali untuk mengakhiri hidupnya dengan cara tidak beradab seperti itu. Setahuku, beliau adalah sosok yang selalu menjalani hidupnya dengan senyum dan keceriaan.

“Tuan muda?”

Gawat! Aku bisa mendengar suara Park Ajeossi memanggil-manggilku. Dengan cepat, kurapikan isi map itu dan kumasukkan lagi ke dalam laci meja kerja ayahku. Buru-buru aku berlari keluar dari ruang kerja ayahku, kembali ke dalam kamar tidurku sendiri. Kutarik napas panjang, berusaha menenangkan diriku sendiri.

Jadi inikah fakta yang selama ini disembunyikan oleh ayahku? Bahwa ibuku meninggal dengan cara bunuh diri?

Aku bisa merasakan air mataku yang mulai menggumpal di sudut-sudut mata, mengancam untuk mengalir keluar. Aku selalu ingin mengetahui kenyataan di balik kematian ibuku, tapi aku tidak pernah menyangka bahwa rasanya akan semenyakitkan ini. Masih tersimpan di ingatanku dengan jelas, ibuku yang dulu selalu berkata bahwa bunuh diri merupakan suatu perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan, seberapapun putus asanya kita. Kalau begitu, ibuku, orang yang selama ini kuhormati, sudah melanggar ucapannya sendiri?

Benarkah itu?

Benarkah ibuku adalah seorang pembohong?

Tidak! Meskipun aku sudah mengetahui fakta bahwa ibuku meninggal dengan cara gantung diri, entah mengapa hati kecilku tidak mau mempercayainya. Entah mengapa sesuatu dalam diriku mengatakan bahwa fakta itulah yang merupakan suatu kebohongan.

Tapi, siapa pula yang bisa memberikan kepastian padaku, bahwa fakta yang tertulis itu adalah suatu fakta yang direkayasa? Aku tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi, jadi aku pun tidak bisa memberikan jaminan bahwa fakta itu merupakan suatu kepura-puraan. Itu hanya perasaanku saja, keyakinanku semata. Aku hanya sedang berusaha meyakinkan diriku sendiri, bahwa ibuku bukan seorang pembohong. Bahwa ibuku tidak pernah meninggalkanku dengan cara yang tidak beradab. Dan, bahwa aku tidak mau kenanganku akan ibuku ternoda dengan hal-hal yang tragis seperti ini.

Sekarang aku mengerti, apa alasan ayahku berusaha menyembunyikan fakta itu dariku. Beliau tidak mau melihatku kecewa dan merasa dikhianati seperti ini. Tapi semua itu sudah terlambat. Ibarat gula yang sudah larut dalam air, aku tidak akan bisa kembali menjadi diriku yang dulu. Kebenaran itu telah menggores kepercayaanku, membuatku merasa tersakiti.

Ibu, benarkah kau memilih untuk meninggalkan dunia dengan cara seperti ini? Meninggalkanku?

Apa yang harus aku lakukan sekarang?

***

3 thoughts on “[4th Chapter] Vengeance

  1. farahfakhirah

    ameer sori br komen dahling v.v like this so much >< especially because my favorite quote is here… karena seorang wanita pasti mempunyai hal2 manis yg membentuk dirinya :')

    update soon ❤ :*

    Like

    • tsukiyamarisa

      kekeke~ saya mikir dan bertapa 7 hari 7 malam (?) cuma buat bikin quote itu nyambung sama cerita xD

      thanks anyway 🙂

      dan buat update.. kayaknya nggak bisa ‘soon’ deh… T T *meratapi tugas yang bertumpuk*

      Like

  2. Belum terjawab teka-teki si cath demen ama jonghyun apa kagak -_-” tapi dari keliatannya sih emang demen *sok taunya terlalu* xD

    Kaget juga dengan perubahan ceritanya :O diatas ampe cath ngobrol ama yonghwa masih happy, tiba-tiba jlebb…

    Firasat saya ibunya jonghyun mati bukan karna bundir, tapi ada hubungannya ama ortunya cath *sok taunya parah*

    Lanjut mer, penasaran siapa keluarganya LD~ *padahal tinggal click chapter 5* xD bbyong~

    Like

Leave a reply to tsukiyamarisa Cancel reply