[Chapter 10 – END] Vengeance

Standard

page

Main Cast:

  • [CNBlue] Jung Yong Hwa
  • [OCs] Catherine Kim
  • [CNBlue] Lee Jong Hyun

Supporting Cast:

  • [EXO-K] Kim Jong In
  • [EXO-M] Kim Jong Dae

Genre: Family, Romance, Angst, Friendship, AU, Thriller

Rating: PG-17

Disclaimer: Storyline, OC, and picture belong to me. The main idea of the story is inspired by manga/anime Black Butler a.k.a Kuroshitsuji. This fanfic is only a fictional story.

Note: EPILOG! finally, I can write the word ‘END’ for my first super-complicated-and-long-fic. Enjoy! ^^

***

[Chapter 10/Epilog]

After all, we still need a happy ending

.

.

“Kim Jong In!”

Hyung, kau ‘kan bisa buat lagi di dapur. Ayolah!”

“Kembali kemari kau!”

Suara gaduh itu terdengar di seluruh penjuru café, memecah keheningan pagi. Sinar mentari baru saja menembus kaca jendela, cangkir-cangkir keramik masih berderet teratur di atas meja dapur, dan kursi-kursi café masih tertata rapi dalam posisi terbalik. Awal hari yang baru.

“Aku belum makan roti itu sejak semalam!”

“Kau pelit Jong Dae hyung! Kau tidak pernah memberiku makan!”

Mwo?! Katakan itu sekali lagi, Kim Jong In!” lengkingan Jong Dae kembali terdengar, kali ini diiringi dengan bunyi gedebuk keras.

Oppa?”

Catherine Kim berjalan turun dari tangga, masih dengan penampilan khas bangun tidurnya. Matanya yang tadi masih mengerjap-ngerjap kini terbuka sepenuhnya, membelalak saat menyadari kondisi café yang berantakan. Beberapa kursi jatuh terguling dan kedua kakak sepupunya sedang asyik bergulat di atas lantai.

“Pagi, Cathy! Kemarikan roti itu, Jong In!”

Ouch! Minta saja Cathy untuk membuatkan lagi!”

Catherine memutar kedua bola matanya, berjalan santai menuju dapur. Ia menuangkan segelas kopi panas ke dalam gelas dan mulai menyesapnya. Pertengkaran Jong In dan Jong Dae adalah hal yang sudah biasa dilihatnya. Bagi Cathy, hal itu malah terasa seperti hiburan.

Oppa? Aku minta izin untuk hari ini, boleh?”

Jong Dae mendongak, berhenti memperebutkan sepotong roti cokelat yang kini sudah aman di tangan adiknya. Merasa memiliki kesempatan, Jong In buru-buru menelan sarapan paginya itu dan kabur ke pantry secepat yang ia bisa.

“Izin?”

“Hari ini peringatan enam tahun kematian Yong Hwa oppa. Aku ingin mengunjunginya.”

***

Catherine Kim

Sudah enam tahun.

Waktu berputar dengan begitu cepatnya, seolah tak memberiku celah untuk berhenti barang sejenak dan menarik napas. Tanpa benar-benar kusadari, segala yang ada di sekitarku kini telah berubah. Aku sudah dewasa, Jong Hyun masih sibuk menuntut ilmu entah di negara mana, dan felicite café sudah berkembang semakin pesat.

Tetapi, ada satu hal yang tidak pernah berubah.

Perasaanku pada Yong Hwa oppa.

Aku masih mencintainya, bahkan kini setelah empat tahun ia tidak berada di sisiku. Penyesalan itu masih ada, walaupun semua orang yang mengenalku berkata bahwa hidupku tampak normal dan baik-baik saja.

Aku memang baik-baik saja, mungkin. Setelah aksi tembak-menembak yang menewaskan Yong Hwa dan ayah Jong Hyun itu, aku berjuang keras untuk menata segalanya. Kami berdua –aku dan Jong Hyun –menjual perusahaan keluarga sekaligus rumah kami selama ini. Menggunakan uangnya untuk membayar gaji dan tunjangan terakhir para karyawan, kemudian mengambil sisanya untuk melanjutkan hidup.

Membuang masa lalu dan membangun masa depan yang lebih baik.

Jong Hyun selalu berkata bahwa kami pasti bisa melakukannya. Kenyataannya, kami memang bisa hidup secara normal layaknya orang-orang lain. Tetapi, kami tetap saja berbeda. Ada luka dan duka, goresan tinta hitam yang menodai sejarah hidup kami. Satu hal yang –aku tahu secara pasti –tidak akan pernah bisa terhapus.

Sekarang, aku tinggal di café milik Jong Dae oppa dan Jong In oppa. Membantu mereka menjalankan bisnis sembari menuntut ilmu di salah satu sekolah kuliner yang ada. Entahlah, aku sendiri juga tak mengerti kenapa pada akhirnya aku memilih jalan ini. Setelah menyelesaikan masa-masa sekolah menengahku di Busan –sudah kukatakan aku tidak ingin melanjutkannya di Seoul –mendadak saja aku menjadi tertarik pada dunia yang didalami oleh kedua sepupuku itu. Memasak, mencoba resep baru, hidup di tengah-tengah aroma kopi, cokelat, dan tawa pengunjung… hal-hal yang membuatku merasa nyaman.

Jadi, aku pun mengambil jalan itu. Setidaknya aku bahagia menjalani ini, lebih daripada mengurus perusahaan keluarga seperti dulu.

“Nona, ini pesanannya.”

Aku mendongak dari lamunanku akan masa lalu, mendapati seikat bunga mawar putih tersodor di hadapanku. Kuraih bunga-bunga itu, aromanya yang lembut menguar di udara. Yong Hwa oppa pasti menyukainya.

“Terima kasih banyak.”

Aku melangkah keluar dari toko bunga tersebut, melanjutkan perjalananku menuju tempat Yong Hwa oppa dimakamkan. Dadaku mendadak mulai terasa sesak lagi, membuat terpaksa menelan gumpalan air mata yang nyaris meluncur keluar.

Aku tidak boleh seperti ini.

Yong Hwa tidak akan senang jika ia tahu bahwa aku masih meratapi kepergiannya. Ia tidak akan bisa tenang di alam sana. Tetapi, aku juga tidak bisa menyangkal penyesalan mendalam yang selalu menghantui ini.

Kenapa aku baru menyadari perasaanku terhadap Yong Hwa pada detik-detik terakhir hidupnya? Kalau saja aku bisa memahami isi hatiku sendiri lebih cepat, mungkin kami bisa mendapatkan kesempatan untuk hidup sebagai sepasang kekasih walaupun hanya sebentar saja.

Pelan, kuletakkan bunga itu di atas pusara Yong Hwa oppa. Aku menunduk dan mengucapkan sebaris doa, berusaha terlihat tegar di depan makamnya.

“Aku masih mencintaimu, oppa. Selalu.”

***

Lee Jong Hyun

Seoul. Betapa aku merindukan segala hal yang menjadi ciri khas kota ini.

Setelah menghabiskan waktuku di New York untuk menyelesaikan kuliah, akhirnya aku bisa menginjakkan kaki di tempat ini lagi. Belum banyak hal yang berubah. Jalanan masih padat, gedung-gedung tinggi belum bertambah terlalu banyak, dan beberapa toko-toko yang dulu sering aku kunjungi masih berdiri di tempatnya masing-masing.

Termasuk felicite café.

Café milik kerabat keluarga Catherine itu tampaknya semakin terkenal di daerah ini. Beberapa anak muda terus bergantian keluar-masuk dari pintunya, keramaian yang tak pernah mereda. Aku menghela napas panjang, menimbang-nimbang niatku untuk berkunjung.

Selain café ini, aku tidak bisa memikirkan tempat lain yang mungkin menjadi rumah bagi sahabatku itu. Ia sudah menjual rumahnya sendiri, praktis membuatnya tidak punya tempat tinggal. Dulu, ia bahkan pernah tinggal di café ini setelah orangtuanya terbunuh. Bukan tidak mungkin jika ia memilih untuk melakukan hal yang sama, bukan?

Kring!

“Selamat da–

Sambutan seorang pemuda terdengar bersamaan dengan bel café yang berdenting tatkala aku membuka pintu. Orang itu tercengang, tangannya berhenti bergerak dan ucapan ramahnya terpotong begitu saja saat melihat wajahku.

“Kau!”

“Jong In-ssi,” balasku pelan, menundukkan kepala untuk memberi salam. Selama sesaat tadi aku sempat melupakan fakta bahwa kedua kakak sepupu Cathy ini sangat menyayanginya dan rela melakukan apapun demi kebahagiaan Cathy. Aku meneguk ludahku, gugup.

“Lee Jong Hyun-ssi?”

Suara lain yang terdengar lumayan akrab itu menyela keheningan yang ada. Kim Jong Dae berjalan keluar dengan senyum lebar, menepuk pundakku dengan lebih bersahabat.

“Lama tidak kemari. Mencari Cathy?”

“Errr… yeah. Itu…”

Hyung…

“Kalau kau tidak bisa bertingkah baik, pergi saja sana,” perintah Jong Dae langsung pada adiknya. Jong In merengut kesal, melempar nampan yang dipegangnya ke arah sang kakak, kemudian berjalan cepat menuju dapur.

“Eh… aku… tunggu, Cathy tinggal disini?”

“Kau tidak tahu?” Jong Dae balik bertanya, terdengar sama terkejutnya denganku. Ia menyuruhku duduk di salah satu sofa, ajakan yang langsung kuterima dengan senang hati.

“Tidak. Kami… memutuskan untuk menjalani hidup masing-masing setelah kejadian itu,” jawabku lirih. Itu kenyataan. Cathy sendiri yang memintaku agar tidak menghubunginya untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Ia selalu beralasan bahwa ia butuh waktu untuk sendiri dan melupakan segalanya, sama sepertiku.

Jong Dae mengangguk mengerti, kemudian melemparkan senyuman lagi ke arahku sebelum beranjak ke dapur.

“Baiklah, kau tunggu saja disini. Cathy mungkin akan kembali sebentar lagi. Kutinggal dulu, ya?”

Aku balas mengiyakannya. Jadi, Cathy memang tinggal di tempat ini. Seperti apa hidupnya sekarang? Apa ia lebih bahagia? Apa ia sudah bisa merelakan kepergian Yong Hwa? Dan yang lebih penting, apa ia masih mengingat ungkapan perasaanku pada hari terakhir itu?

Karena aku masih mengingatnya. Cathy boleh saja berkata bahwa ia mencintai Yong Hwa, tetapi aku pun juga akan berkata bahwa aku memendam cinta yang sama besarnya. Dan lagi, ini sudah enam tahun sejak kejadian itu. Sudahkah perasaan Cathy berubah? Apakah ia juga memikirkanku, sama seperti aku yang selalu teringat akan bayangnya?

Kring!

Bel café kembali mengeluarkan suaranya, membuatku cepat-cepat menoleh. Seolah bisa mengerti keinginan terpendamku, seorang gadis berambut panjang berdiri di ambang pintu. Ia melempar senyum manis ke beberapa pelanggan yang ada, namun cengiran itu lenyap kala maniknya mendapati sosokku.

Catherine Kim.

“J-Jong Hyun?” Cathy berujar tak percaya, melangkah maju dengan ragu. Matanya masih belum bisa terlepas dariku saat ia mendudukkan dirinya di hadapanku dengan gugup. Aku berdeham pelan, berusaha untuk menyapanya –yang sejujurnya terdengar agak canggung.

“Kau… sudah pulang ke Seoul?”

“Ya, beberapa hari yang lalu.”

Sunyi lagi. Cathy memainkan ujung baju terusannya dan menolak untuk memandang mataku. Aku sendiri hanya bisa terus-menerus membuka mulut tanpa ada satupun kata yang keluar dari sana. Apa yang harus kukatakan?

“Bagaimana hidupmu?”

Aku mengembuskan napas lega mendengarnya melontarkan pertanyaan terlebih dahulu. Dengan senang hati, aku pun menjawab pertanyaan basa-basinya tersebut.

“Baik. Aku melanjutkan kuliah di New York, belajar menjadi music composer. Mungkin aku akan mencoba mencari pekerjaan mulai besok. Kau sendiri?”

“Aku belajar membuat kue. Membantu Jong In oppa dan Jong Dae oppa disini.”

“Cathy?”

Ia mendongak perlahan, mungkin juga merasa aneh untuk melihatku lagi setelah sekian lama berpisah. Jemarinya mulai bergerak-gerak dengan tidak tenang. Kutangkap tangan mungilnya itu dengan cepat, menggenggamnya erat sehingga ia tidak bisa berpaling lagi.

“Bagaimana perasaanmu?”

“Apa maksudmu?”

“Tolong jangan berpura-pura bodoh,” pintaku dengan nada memelas. Cathy menghela napas panjang, mungkin ia juga merasa berat untuk membicarakan ini.

“Sudah enam tahun…” ia memulai dengan sedih, namun dengan cepat aku bisa menangkap maksudnya.

“Kau masih mencintainya.”

Tidak ada tuduhan dalam nada suaraku, namun aku bisa melihat bahwa kata-kataku itu tepat pada sasaran. Cathy mengangguk kecil, meruntuhkan semua harapan yang tadinya kumiliki. Apa ia mencintai Yong Hwa hingga sebesar itu?

“M-maaf, Jong Hyun-a. Jawabanmu untuk waktu itu–

“Sampai kapan aku harus menunggu?” aku bertanya lirih, tidak mampu menyembunyikan gurat-gurat kekecewaanku.

“A-apa?”

“Ini sudah enam tahun, Cathy. Yong Hwa pasti tidak mau melihatmu hidup seperti ini. Bumi terus berputar dan jarum jam akan setia berdetik maju. Apa kau benar-benar tidak mau membuka hatimu? Sampai kapan?” aku menghujaninya dengan berbagai nasihat dan pertanyaan.

“Entahlah. Aku juga tidak tahu, Jong Hyun-a.”

Genggaman tanganku pada jari-jarinya pun terlepas. Aku mendesah pelan, berusaha menutupi perasaan kesal yang mulai menghantamku. Enam tahun! Kurasa waktu itu cukup panjang, bukan? Kenapa Cathy masih belum bisa melupakannya?

“Aku akan menunggu, kalau begitu. Sampai kau membuka hatimu lagi, aku akan tetap berada di sampingmu.”

***

Catherine Kim

Apa yang dia pikirkan? Menungguku sampai selama ini?

Lee Jong Hyun, kau itu bodoh atau apa? Kau jelas mengetahui bagaimana perasaanku pada Yong Hwa. Kau tahu kalau aku tidak bisa melupakannya semudah itu, mungkin malah tidak akan pernah. Dan kau masih berani mengharapkan diriku untuk membalas cintamu?

“Kau tidak apa-apa?”

Aku menoleh, mendapati Jong In oppa berdiri di ambang pintu kamarku seraya menenteng nampan berisi cangkir dan sepotong roti. Ia melangkah masuk, lengkap dengan ekspresi khawatir terpeta di wajahnya.

“Aku baik-baik saja oppa. Lagipula, aneh rasanya melihat dirimu yang usil itu bisa mengkhawatirkanku.”

Jong In berdecak pelan, mengulurkan nampan yang dibawanya ke arahku. Ia mendudukkan dirinya di atas karpet, maniknya masih menatapku dengan sorot menyelidik.

“Apa?” aku bertanya cepat dengan nada defensif. Jong In menghela napas keras, menepuk-nepuk pundakku dengan sikap menggurui.

“Temanmu itu… kenapa dia selalu membuatmu susah, sih?”

Tanpa perlu menyebut nama pun, aku tahu persis siapa orang yang sedang kami bicarakan. Sahabatku, Lee Jong Hyun. Jong In oppa tidak pernah menyukainya. Ia selalu menganggap bahwa Jong Hyun adalah penyebab segala masalah dalam hidupku, orang yang membuatku selalu tampak bersedih.

“Jong Hyun tidak bersalah, oppa.” Dan seperti yang sudah-sudah, aku hanya bisa mengucapkan kalimat itu untuk membela Jong Hyun. Kenyataannya, ia memang tidak pernah menyakitiku. Keadaan dan takdirlah yang membuat hubungan kami menjadi seperti ini.

“Katakan itu sekali lagi dan aku tidak akan memberimu makan. Ayolah, Cathy… kau selalu tampak muram setelah berjumpa dengannya.”

Aku menggeleng lagi, membantah perkataannya itu. Aku tahu persis kenapa Jong In oppa selalu bertingkah seperti ini kepadaku. Ia menyayangiku dan selalu menganggapku sebagai adiknya sendiri. Ia juga pernah merasakan bagaimana susahnya bertahan hidup dan bagaimana sakitnya ketika kedua orangtuamu mendadak meninggal. Semua itu telah membuatnya bersikap terlalu protektif terhadapku, takut jika suatu saat nanti aku terluka dan tidak sanggup menanggungnya lagi.

Oppa…” aku menarik ujung kaosnya dengan nada merajuk, mengisyaratkan bahwa aku tak ingin melanjutkan percakapan ini. Jong In hanya melipat kedua lengannya di depan dada dan mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Menolak untuk berdebat lebih jauh.

“Kim Jong In!”

Suara derap langkah terdengar mendekati kami, disusul dengan sosok Jong Dae oppa yang langsung masuk ke kamarku tanpa mengucap permisi.

Hyung, tidak lihat kalau aku dan Cathy sedang sibuk?” Jong In membalas panggilan kakaknya itu tanpa mengalihkan pandangannya dariku. Jong Dae oppa, yang tampaknya sudah mulai menyadari situasi serius di antara kami, ikut duduk di atas karpet dan melempar tatapan penuh tanya.

“Kalian bertengkar?”

“Katakan padanya, hyung. Ia terus-menerus membela si Jong Hyun itu.”

“Itu bukan urusanmu, Jong In.”

“Ayah Jong Hyun itu adalah pembunuh orangtua Cathy!”

Jong Dae menepuk-nepuk bahu Jong In untuk menenangkannya. Ia menghela napas panjang, kedua bola matanya terarah kepadaku untuk meminta penjelasan lebih lanjut.

“Aku tidak pernah menyalahkan Jong Hyun untuk itu, oppa. Dia dan ayahnya itu berbeda. Dan Jong Hyun… mencintaiku.”

“APA?!” nada suara Jong In naik begitu saja. Ketidakpercayaan mewarnai raut wajahnya. Aku meringis kecil, sadar bahwa ucapanku barusan telah memicu keributan yang lain. Bodoh, bodoh! Apa sih yang kupikirkan barusan?

Masih sambil memaki diriku sendiri, pandanganku dan Jong Dae mengikuti Jong In yang kini sedang berjalan keluar dari kamarku. Bisa kupastikan, ia akan menolak untuk berbicara padaku sampai esok hari.

“Cathy… apa pendapatmu tentang Jong Hyun? Kau bilang ia tidak bersalah, aku setuju. Tetapi, kau tidak bisa melupakan fakta bahwa ayahnya adalah orang yang telah membuatmu sebatang kara.”

“Aku tahu… tetapi, oppa, Jong Hyun itu orang yang baik. Dia adalah satu-satunya sahabatku, orang yang peduli padaku selain kalian dan Yong Hwa oppa. Ia adalah sosok yang bisa membuatku merasa aman dan nyaman. Terlepas dari latar belakang keluarganya… a-aku… aku menyayanginya,” tuturku dalam bisikan lirih. Jong Dae mengangguk mengerti dan memelukku sekilas untuk membuatku merasa lebih tenang.

“Dan… apakah kau mencintainya?”

“Aku tidak tahu. Aku tidak bisa mengkhianati perasaanku pada Yong Hwa oppa.”

Jong Dae oppa mengembuskan napas panjang, terlihat sedikit kesal saat mendengar pengakuanku barusan. Ia mengetuk puncak kepalaku ringan dan terkekeh pelan. Ekspresinya menunjukkan sedikit keheranan sekaligus ketidaksabaran.

“Yong Hwa sudah meninggal, Cathy. Ini sudah enam tahun. Kalau kalian memang pernah saling mencintai, tentunya ia tidak akan mau melihatmu hidup seperti ini. Aku yakin, Yong Hwa juga pasti tahu kalau Jong Hyun itu pria baik-baik.”

“Jadi, aku harus bagaimana, oppa?”

“Kau menyayanginya, bukan?”

Aku mengangguk.

“Kau juga dekat dan merasa nyaman dengannya.”

Aku mengiyakan pernyataan itu lagi.

“Baiklah. Yang terakhir, apa kau takut kehilangan dirinya?”

Aku mendongak, mendapati Jong Dae oppa sedang tersenyum kepadaku. Tanpa perlu dijelaskan lebih jauh, aku sudah bisa memahami maksud dari perkataannya. Tentu saja aku takut kehilangan dirinya.

Dan itu sudah cukup untuk menjadi alasan bagiku agar menerima ungkapan cintanya. Karena jauh di dalam lubuk hatiku, aku tahu kalau kehilangan Jong Hyun akan sama menyakitkannya dengan rasa yang kualami ketika Yong Hwa oppa meninggal dulu.

Aku tidak bisa menanggungnya, tidak untuk yang kedua kalinya. Keterlambatanku dalam menyadari perasaanku pada Yong Hwa oppa telah meninggalkan bekas luka yang dalam. Kini, aku tidak mau mengulang kesalahan itu untuk yang kedua kalinya. Aku harus segera membalas ungkapan cinta Jong Hyun. Secepatnya, sebelum ia pun pergi menjauh dari hidupku.

“Ya. Aku sudah mengerti segalanya. Terima kasih, Jong Dae oppa,” ucapku tulus. Jong Dae mengangguk puas.

“Eumm, tapi Jong In oppa…” mendadak aku pun teringat akan sikap tak bersahabat kakak sepupuku itu. Apa yang akan dia katakan nanti, tatkala ia mendapati aku dan Jong Hyun saling menyukai?

“Biar kuurus bocah itu nanti. Kau bisa memahaminya ‘kan, Cathy? Masa lalu kami…”

Tentu saja. Aku tahu apa yang menyebabkan sifat Jong In menjadi seperti itu. Sejak kehilangan kedua orangtuanya dulu, orang-orang lain mulai menganggap rendah keluarga mereka yang tadinya kaya raya. Segala macam gosip dan hinaan yang dikeluarkan media telah mengubah sifatnya.

Jong Dae oppa mungkin lebih penyabar dalam hal ini, tetapi lain halnya dengan Jong In oppa. Ia tumbuh menjadi pribadi yang susah untuk memberikan kepercayaannya pada orang lain. Sifat luarnya boleh saja ceria, tetapi di dalamnya, ia sama persis denganku. Sama-sama tidak mudah untuk mendekati orang dan memulai sebuah pertemanan.

“Ya. Sampaikan maafku kepadanya, ya?”

Jong Dae mengangkat ibu jarinya tanda ia mengerti, kemudian berjalan keluar dari kamarku. Aku menarik napas panjang, merasa lega karena masalahku sudah terselesaikan. Kuraih ponselku, mencari nomor baru Jong Hyun yang tadi sempat ia berikan sebelum pulang. Tanpa membuang waktu, aku pun mengirimkan sebuah pesan kepadanya.

Yong Hwa oppa, aku akan selalu mencintaimu. Tetapi, aku juga boleh bahagia dengan Jong Hyun, bukan?

***

Lee Jong Hyun

Bisakah kita bertemu besok? Sungai Han, pukul sepuluh pagi.

Aku terus-menerus membaca pesan singkat dari Cathy tersebut. Mataku menatap ke arah kerumunan orang di sekitar tepi sungai Han. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih seperempat, tetapi aku tidak kunjung melihat sosok Cathy.

Apa yang ingin dia bicarakan? Apa dia akan menolakku?

Aku menggigit bibirku, perasaan cemasku berlipat ganda seiring dengan jarum jam yang terus bergerak setiap detiknya. Pertemuan kami di felicite café kemarin masih terasa begitu canggung. Hari ini, hal macam apa lagi yang harus kuhadapi?

“Maaf, aku terlambat!”

Kepalaku bergerak cepat, mendapati seorang Catherine Kim tengah berlari-lari kecil menghampiriku. Ia melambaikan tangan dan seulas senyum lebar terpampang di wajahnya. Melihat semua itu, tanpa sadar aku pun mengembuskan napas lega. Setidaknya, ia sedang berada dalam mood yang baik. Kecanggungan yang kemarin sempat ada tampaknya juga telah memudar.

“Tidak apa. Aku tidak sibuk, kok.”

“Begini Jong Hyun-a, aku ingin memberimu… jawaban. Kepastian atas pernyataanmu waktu itu,” Cathy berucap cepat tanpa basa-basi.

“Errr, baiklah,” aku mengiyakannya dengan suara serak, mungkin karena gugup. Tanganku mulai menepuk-nepuk dadaku, berusaha meredakan debaran jantung yang semakin menggila dan serasa akan meloncat keluar.

“Jong hyun-a… ini sudah enam tahun, jadi aku–

“Maafkan aku!” belum sempat Cathy melanjutkan ungkapan hatinya, aku sudah buru-buru membungkukkan badan dan meminta maaf kepadanya. Kedua alis gadis itu bertaut, heran mendengar permintaan maafku yang terkesan mendadak.

“Aku tidak seharusnya membebanimu dengan ungkapan perasaanku. Ayahku telah menghancurkan keluargamu dan membuatmu hidup susah selama ini. Tetapi, aku tetap mendekatimu dan memintamu menjadi kekasihku. Seharusnya aku–

Cathy mendengus pelan mendengar ucapanku, ekspresinya tampak bosan dan jengah. Ia meletakkan jari telunjuknya di depan bibirku untuk membungkam seluruh kata-kata penyesalan yang kumiliki.

“Bodoh. Ini sudah enam tahun! Jong Hyun-a, aku tidak pernah menyalahkanmu. Kau adalah salah satu sahabat terdekatku dan aku menyayangimu!”

“Tapi ayahku…”

Dengan susah payah aku berusaha mengeluarkan bantahan atas pernyataan Cathy. Namun, gadis itu kembali mendaratkan satu jarinya di atas bibirku lagi. Ia melangkah maju, manik kelamnya memandangku dengan sungguh-sungguh.

“Tidak penting siapa ayahmu dan siapa orangtuaku. Apa yang sudah terjadi adalah buah dari pilihan mereka masing-masing. Mereka memilih untuk saling membenci. Ayahmu memilih untuk membunuh orangtuaku. Tetapi, kita tidak sama dengan mereka.”

Cathy menarik napas panjang, masih belum melepaskan bungkamannya pada mulutku. Ia semakin merapatkan posisi berdiri kami, membuat degupan jantungku serta-merta berlipat ganda. Aku terlalu cemas untuk mendengar lanjutan dari kalimat-kalimatnya. Sedangkan di sisi lain, aku tidak bisa pula menahan rasa cintaku kepadanya yang terus meluap, apalagi setelah melihatnya dalam jarak sedekat ini.

“Mereka sudah menentukan jalan hidup masing-masing. Kita pun juga bisa melakukannya, Jong Hyun-a. Aku tidak peduli dengan latar belakang keluarga kita! Aku sudah memilih jalanku sendiri. Dan asal kautahu saja, aku ingin menjalani hidupku bersamamu!” sembur Cathy berapi-api. Perlahan, ia semakin menutup ruang yang ada di antara kami. Satu gerakan singkat tercipta dan jemarinya yang tadi sempat berada di atas bibirku kini telah berganti dengan bibirnya.

Manis, singkat, dan lembut. Cathy mendaratkan satu kecupan ringan di sana sebelum menarik diri. Irisnya berkilat senang, sementara ia membiarkanku mematung di tempat dan berusaha mencerna hal apa yang baru saja terjadi.

“Cathy?”

“Aku juga menyukaimu. Mungkin aku memang masih menyimpan sedikit rasa cinta pada Yong Hwa oppa, tetapi aku tidak bisa melepasmu begitu saja.”

Ia menunduk dalam-dalam, aura penyesalan terpancar darinya. Aku bisa memahami itu. Melupakan orang yang pernah kalian cintai, terlebih jika orang itu pernah menjadi bagian dari hidupmu untuk sekian lama, tidak akan menjadi hal yang mudah untuk dilakukan.

Aku tidak menyalahkan Cathy karena ia masih memberikan sepotong hatinya pada Yong Hwa. Aku akan menerima semua keputusannya itu tanpa pertanyaan. Ia membutuhkan waktu untuk mencintaiku, maka aku pun akan memberikannya. Sesederhana itu.

“Tidak apa-apa. Aku akan menghapus semua kesedihanmu dan memastikan hidupmu bahagia. Suatu saat nanti, kau akan mencintaiku, bukan?” bisikku lirih sembari mendongakkan dagunya. Sebutir air mata menggantung di sudut kelopaknya, bersiap untuk menetes jatuh.

“Tetapi, bagaimana denganmu?”

“Bagaimana denganku? Aku baik-baik saja. Asal kau ada di sampingku, aku tahu kalau semuanya akan berjalan lancar,” sahutku yakin. Aku tersenyum lebar dan mengembalikan satu kecupan kepadanya. Pipinya mulai bersemu kemerahan dan seutas senyum simpul pun tampak di sana.

“Terima kasih.”

Kuanggukkan kepalaku dengan rasa puas. Lenganku mulai menarik Cathy masuk ke dalam pelukanku, membiarkan gadis itu menumpahkan segala kekhawatirannya. Aku senang, tentu saja. Ternyata, penantianku selama ini tidak berujung pada sebuah kesia-siaan. Kami akan hidup bahagia. Selama aku masih bernapas, aku sendirilah yang akan memastikan hal itu.

“Cathy, maukah kau menghabiskan sisa hidupmu bersamaku?”

***

Few years later…

“Cathy…”

“Yong Hwa oppa? Apa itu kau?”

Seorang gadis berlari kecil di tengah taman penuh bunga aneka warna. Ia menghampiri sesosok lelaki muda yang mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. Laki-laki dengan senyum dan tingkah-laku yang sudah amat dikenalnya.

“Bagaimana hidupmu? Kau bahagia?”

Cathy menelengkan kepalanya sejenak, memikirkan pertanyaan Yong Hwa barusan. Apakah ia bahagia? Sepertinya iya. Ia selalu tersenyum tulus selama beberapa tahun belakangan ini. Menjalani hidup yang normal dan tanpa beban.

“Ya. Apa oppa bahagia?”

Yong Hwa melemparkan senyum sedih, tetapi sinar matanya tampak berbinar saat mendengar jawaban Catherine. Ia memeluk gadis itu singkat dan mulai menepuk-nepuk puncak kepalanya. Hal yang selalu membuat dirinya merasa aman dan nyaman.

“Kalau kau bahagia, aku juga bahagia.”

“Benarkah?”

“Jong Hyun orang yang baik, bukan? Karena itu kau harus berhenti memberikan rasa cintamu kepadaku. Jong Hyun lebih patut mendapatkan semua itu.”

“Kau juga berhak! Kau sendiri tahu itu!” nada suara Cathy mulai meninggi. Yong Hwa menggeleng lembut, perlahan-lahan ia mulai melangkahkan kakinya menjauhi sang gadis.

“Aku berhak, tetapi aku sudah tidak ada di dunia fana ini. Apa kau ingin melihatku bahagia?”

Sungai kecil mulai terbentuk di kedua pipi Cathy, begitu pula halnya dengan Yong Hwa yang mati-matian berusaha menyembunyikan isakannya. Jarak yang membentang di antara keduanya semakin lebar. Memisahkan antara yang hidup dengan yang mati.

“Tentu saja.”

“Kalau begitu, relakan kepergianku dengan senyuman. Itu sudah cukup bagiku.”

***

“Cathy?”

Yang dipanggil berguling pelan dalam tidurnya, matanya mulai terbuka saat ia mendengar suara Jong Hyun menyapa telinganya. Ia mengerjap beberapa kali, berusaha untuk menemukan fokus pandangannya.

“Apa kau bermimpi buruk?”

Jong Hyun menyangga tubuhnya dengan siku, berbaring pada sisi kanan tempat tidur. Ia mengulurkan tangan untuk membelai rambut panjang Cathy yang tampak kusut. Matanya dipenuhi oleh kecemasan.

“Tidak. Aku bermimpi indah,” Cathy menjawab cepat seraya memalingkan wajahnya. Tetapi, itu tidak cukup untuk membohongi indera penglihatan Jong Hyun. Lelaki itu bisa menangkap bulir-bulir air yang menetes keluar dari mata gadisnya.

“Cathy…”

Tanpa menjawab panggilan itu, Cathy menenggelamkan dirinya dalam dada Jong Hyun. Memeluknya erat, membiarkan hangat melingkupi keduanya di tengah dinginnya malam. Jong Hyun mengernyit bingung, namun ia pun balas merengkuh Cathy dengan penuh kasih sayang.

“Aku memimpikan Yong Hwa oppa. Ia memintaku untuk merelakannya.”

“Hmmm….”

“Dan ia benar. Sudah berapa lama kita menikah, Jong Hyun-a? Seolah-olah aku sudah mengkhianati janji suci kita selama ini….”

“Dua tahun. Dan bukankah sudah kubilang, aku tidak keberatan dengan semua itu? Aku hanya ingin berada di sisimu,” tegas Jong Hyun lagi. Ia tidak pernah menyesali keputusannya dulu. Perasaan gadis itu memang terbagi dua. Tetapi, Jong Hyun sudah menyetujui hal itu sebagai harga yang harus dibayarnya.

“Aku sudah merelakan Yong Hwa oppa.”

“A-apa?”

“Kubilang, aku sudah mengikhlaskannya. Mulai sekarang, seluruh kepingan hatiku ini hanya milikmu, Lee Jong Hyun.”

“Kau serius?”

Cathy mengangkat wajahnya, kemudian mengangguk yakin. Ia menangkupkan kedua tangannya pada wajah Jong Hyun, kemudian mencium suaminya itu dengan perasaan yang baru. Murni, tidak tersentuh oleh jenis cinta yang lain.

“Maaf membuatmu menunggu selama ini untuk mendapatkan hatiku.”

Jong Hyun menggeleng cepat, kemudian membenamkan wajahnya dalam helaian rambut Cathy. Aroma madu nan manis merebak dari sana, membuat Jong Hyun selalu merasa betah untuk melakukan hal itu.

“Terima kasih.”

Cathy menarik sudut-sudut bibirnya, merasakan kebahagiaan yang kini telah benar-benar ia dapatkan. Ia –sama seperti Jong Hyun –tidak pernah menyesal untuk mengambil keputusan menikahi pria itu. Yong Hwa benar. Jong Hyun adalah orang yang tepat untuknya.

Gadis itu mengalungkan tangannya pada leher Jong Hyun, menyerangnya dengan kecupan-kecupan ringan. Jong Hyun hanya bisa terkekeh pelan dan menarik tubuh Cathy semakin merapat.

Mulai sekarang, mereka akan melupakan semua masa lalu kelam yang pernah tercipta. Masa depan yang cerah membentang lebar, siap untuk dijalani dengan penuh semangat. Mereka telah berhasil menemukan jalan hidup yang tepat, tidak peduli seberapapun buruknya masa lalu yang mereka miliki.

“Cathy?”

“Ya?”

“Bagaimana kalau kita berikan adik untuk Hyun Ri? Ide yang bagus, bukan?” Jong Hyun berkata jahil sembari mengedipkan sebelah matanya. Cathy hanya bisa diam terpaku dan tiba-tiba saja ia menyadari bahwa belaian lembut Jong Hyun mulai menggelitik pinggangnya.

“LEE JONG HYUN!!”

.

.

.

This is your own life; you take your own control for that

Our past isn’t that important, so why do we must think about it too much?

What you need to do is to make a good choice, do it fully with all your heart, and life happily

And one day, you will find what happiness is it

-END-

4 thoughts on “[Chapter 10 – END] Vengeance

  1. finally!!! Finally!!!! Finally!!! XD

    Ehem, mer~ baru mulai udah ada typo tuh, kok empat tahun? Enam tahun maksudnya? 😛
    Another typo, apa bedanya kerabat sama keluarga?
    Apalagi ya typonya? *minta ditimpuk* xD

    Huaaaaaa tebakan saya setengah bener~ kirain jonghyun nggak bakal nikah sama cathy xD huaaaaaaaaa jonghyun-cathy shipper!! Yeay!!

    Jadi yonghwa selama lebih dari delapan tahun jadi hantu gentayangan gara2 belum dikhlasin cathy? Ato itu cuma mimpi? ._.

    Ehem, cathynya agresif diakhir *kedip kedip* xD yang jelas, yeay!! Happy ending!!! xD

    p.s nggak sabar sama L-A-L!!!! Buruan publish!!!!
    -sekian xD

    Like

    • kalau yang empat tahun itu emang typo, wkakakak, kayaknya aku ketinggalan pas ngedit itu~

      beda laaah, itu kan tulisannya ‘kerabat keluarga Cathy’ nah berarti sama artinya kayak saudara dari keluarganya Cathy gituu… ngerti nggak? /geje/

      hahaha, dari awal aku nulis ini, udah nafsu banget pengen bikin jonghyun-cathy nikah di akhir! habis aku pengen belajar nulis marriage-life fic, dan mereka jadi percobaan pertamakuu xD

      yonghwa? dia bukan hantu gentayangan kok… itu cuma mimpinya cathy doang, biar dia bisa ikhlas gituu, masa udah nikah masih mikirin yonghwa mulu /disambit jonghyun/

      ending? jonghyun itu mah yang agresif, kan dia yang ngajak bikin anak /eh /frontal/

      LAL lagi on writing nih tan, mungkin minggu ini deh aku publish.. ntar pasti kukabarin kok!
      thankyou ya ikatan batiiiin :**

      Like

  2. envy -_-
    itulah yang aku rasakan selama membaca epilog ini, apalagi mereka menikah kyaaaaaa *acak acak kamar jonghyun*
    yeah, mungkin aku harus seperti yonghwa, yang mengikhlaskan cathy, dan aku mengikhlaskan jonghyun untuk cathy, dalam ff ini hahaha *ini sebenernya curhat atau komen?
    pfiuuuhh akhirnya bener bener end ya! seneng udah baca ff kamu yang fantastis ini haha. dan aku akan selalu menunggu ff mu -tidak hanya cast jh* kai pun boleh di tag, dedek yang satu itu tetep membuatku tergoda *dijambak jonghyun*
    baiklah, sebelum curhat kemana-mana, ada baiknya kita ucapkan hamdalah (?) dan chukkae karena sudah ending ^^
    nice ff, terima kasih sudah selalu men-tag aku dan beritahu aku tentang ff mu ini,
    daebaaaak~ B-)

    Like

    • elaaaah, kak, kan cathy juga cuma OC toh.. bayangin aja dia itu kak meg~
      hahaha, curhat colongan nih ceritanya? yasudah, ikhlaskan saja kak… biarkan jonghyun bahagia sama aku (?) /salah/
      iya! akhirnya ini beneran end! lega banget ya ampun kak, akhirnya utangku disini sama IFK lunas satuu *tabur konfetti*
      dan… kak meg kok jadi suka kai sihh? ihh~ nggak boleh, dia punyakuu /tendang kak meg/

      mau fic lain kak? itu coba baca Life-After-Life deh.. aku baru sampe chapter 3 dari sekitar 6 chapter, masih on-going kok xD

      okaay, sama-sama kak… makasih juga udah setia komen panjang lebar begini, walaupun isinya kadang curhat terselubung *lol*
      ntar ku-tag Life-After-Life via twitter deh 😀

      Like

Leave a comment