Life-After-Life: Her Destined Man [8/9]

Standard

life-after-life4

a fanfiction by Tsukiyamarisa

Cast(s): [f(x)] Jung Krystal, [SHINee] Lee Taemin, [EXO-K] Kai, [EXO-K] Oh Sehun, [CNBLUE] Kang Min Hyuk || Minor Cast(s): [EXO-M] Luhan, Kris || Duration: Chaptered || Genre: AU, Romance, Family, Fantasy, slight!Sad-Hurt, Friendship || Rating: PG ||

Summary:

Min Hyuk. Soo Jung. Taemin. Kai.

Mereka semua memiliki masa lalu dan masa depan yang saling terikat satu sama lain. Tidak ada satupun dari mereka yang paham, bagaimana catatan takdir akan memutuskan akhir dari kisah ini. Happy end or… not?

Disclaimer:

All casts belong to themselves. Storyline and poster belong to me. Inspired by: Black Butler and SHINee’s song – 1000 Years Always By Your Side. Do not plagiarize or repost without permission.

Recommended Song:

EXO – Baby Don’t Cry

*****

Life-After-Life: Her Destined Man

 

I love you,

And I will do anything to put that smile on your face

.

.

.

So here I come,

I will bring your destined man to you,

I will let you slip out from my hand,

I will do anything and I will hide my own tears

.

.

Because as long as you happy,

That’s enough for me

.

.

 

“Kalian menyuruhku… apa?

Luhan membelalak lebar, matanya tak lepas dari sosok Kai dan Taemin. Kedua shinigami itu tiba-tiba saja menghadangnya di depan kantor House of Warden, lengkap dengan ekspresi wajah memelas dan penuh permohonan. Kening Luhan berkerut, rasa terkejut yang menderanya saat mendengar permintaan Taemin barusan belum juga hilang.

“Menyamar jadi manusia. Memperlihatkan dirimu, sama seperti saat Kai menyelesaikan masalahnya dengan Soo Jung dulu. Tolonglah, sekali ini saja. Master Kris sudah memberiku izin, kok.”

“Biar kutebak. Ini juga ada hubungannya dengan Soo Jung?” selidik Luhan, kendati ia tahu persis bahwa pertanyaan itu tak lagi diperlukan. Semua yang berhubungan dengan Taemin dan Kai sudah pasti ada sangkut-pautnya dengan Soo Jung, si gadis manusia itu. Diam-diam, rasa penasaran pun tumbuh dalam benak Luhan. Memangnya, serumit apa sih masalah di antara mereka?

“Kami tidak akan memintamu untuk berbuat macam-macam, sungguh.” Kai ikut berusaha meyakinkan Luhan dengan cara melebarkan kedua bola matanya dan menangkupkan kedua tangan di depan dada. Sempurna, batin Luhan sarkastis. Kai selalu tahu bagaimana cara membuat hati setiap shinigami di tempat ini luluh dengan tatapan mata polosnya itu.

“Baiklah. Tetapi, beri aku alasan kenapa aku harus melakukan ini. Dan dengan satu syarat, tentunya.”

“Pertama, karena Kai tidak mungkin menyamar menjadi manusia lagi dan bertemu dengan Soo Jung. Master Kris sudah melarangnya untuk itu. Tidak seharusnya Soo Jung terus-menerus diingatkan bahwa kakaknya ini sudah meninggal,” jelas Taemin seraya menunjuk Kai––yang segera mengiyakannya dengan satu anggukan mantap.

Taemin menarik napas panjang-panjang, kemudian melanjutkan, “Sedangkan aku… well,bagaimana jika aku tidak bisa menahan diri? Aku tidak seberani itu untuk bertemu dengan Soo Jung sebagai seorang manusia. Aku tidak bisa menjamin bahwa aku bisa… err, kembali dengan selamat.”

Luhan bergumam pelan, tanda bahwa ia sudah paham. Alasan itu bisa diterima. Sebagai salah satu anak kesayangan sang Master, tentunya Kris tidak akan merelakan Taemin berubah menjadi abu begitu saja. Satu-satunya pilihan yang mereka punyai adalah meminta bantuan padashinigami lain––seperti Luhan, misalnya.

“Oke. Aku akan melakukannya.”

Yay! Kau memang yang terba––”

“Dengan satu syarat,” imbuh Luhan, seolah mengingatkan mereka. Senyum lebar yang tadinya terpampang di wajah Taemin dan Kai pun lenyap seketika, membuat kekehan kecil meluncur dari bibir Luhan.

“Apa?”

“Bantu aku menyusun berkas-berkas laporan tahun ini, oke? Totalnya ada dua rak penuh dan––”

“DUA RAK?!” teriak Kai keras dengan mata melotot, kaget. Apa Luhan sedang bercanda? Satu rak saja bisa berisi ratusan––bahkan mungkin hampir mencapai ribuan berkas. Membayangkan diri mereka tertimbun di antara kertas-kertas laporan saja sudah cukup untuk membuat Kai bergidik ngeri. Sungguh, berkeliaran untuk mencabut nyawa manusia itu lebih asyik jika dibandingkan dengan mengurus sejumlah laporan.

“Ya, dua rak,” ulang Luhan kalem. “Dan kalian harus mengurutkannya sesuai tanggal, kemudian menatanya dengan rapi di Record Library.

“Kau gila, Luhan.” Taemin berdecak keras, tampak kesal. Luhan hanya mengangkat bahunya, terlihat tidak peduli. Ia yakin bahwa kedua shinigami di hadapannya ini tidak akan menolak. Mereka benar-benar membutuhkan bantuan Luhan, bukan? Anggap saja ini sebagai pertukaran tugas. Luhan akan mengerjakan tugas mereka dan––sebagai gantinya––mereka pun harus membantu Luhan. Kedengarannya cukup adil.

“Kalau kalian tidak mau, ya sudah.”

“Oke, oke! Astaga, kau menyebalkan sekali. Baik, kami akan melakukan tugasmu,” sambar Taemin cepat. Luhan tersenyum senang, tangannya terulur untuk menjabat milik Taemin dan Kai sebagai tanda persetujuan.

Deal?”

Deal.

“Baiklah. Sekarang, beritahu aku soal Soo Jung. Apa yang harus kulakukan?”

 

***

 

Sehun mengembuskan sisa-sisa pernapasannya dalam desahan panjang, tampak lelah sekaligus mengantuk pada saat yang bersamaan. Ia melangkah di sepanjang koridor kampus dengan mata setengah terpejam, pikirannya melayang-layang pada tugas kuliah yang kian hari semakin menumpuk saja. Menyebalkan.

 

Bruuuk!

 

“Ah, maafkan aku!”

Sehun mengerjap beberapa kali, terkejut saat mendapati buku-buku dan lembaran kertas tugas yang dibawanya sudah berserakan di atas lantai. Seorang pria berambut pirang dan berkaos polo hitam tengah duduk berlutut di depannya, sibuk merapikan barang-barang Sehun.

Uh, tidak apa. Sepertinya aku sedang melamun tadi.” Sehun menjulurkan tangannya untuk meraih buku-buku tersebut, kemudian membantu pria tak dikenal itu bangkit berdiri. “Terima kasih.”

“Sama-sama. Aku sedang terburu-buru menuju kelas Profesor Jung, jadi–”

“Profesor Jung? Kau murid pindahan?” potong Sehun dengan alis terangkat, penasaran. Jujur saja, ia belum pernah melihat orang ini berkeliaran di kampusnya. Padahal, Sehun mengenal hampir semua mahasiswa di tempat ini––mengingat betapa banyak organisasi dan kegiatan kampus yang ia ikuti.

“Yep. Aku mengikuti program pertukaran selama seminggu. Namaku Luhan.”

“Sehun. Oh Sehun,” balas Sehun ringan seraya menjabat tangan Luhan. “Darimana kau berasal?”

“Aku datang dari… Out––Cina! Ah, ya, aku datang dari Cina!”

“Cina?” Sehun menelengkan kepalanya, terlihat sedikit tak percaya mendengar jawaban Luhan.Tapi, bahasa Korea orang ini sangat bagus, batin Sehun. Ia mengembalikan pandangnya ke arah Luhan, mendapati teman barunya itu tengah tersenyum simpul saat mendengar reaksi Sehun barusan. Ia terlihat ramah dan menyenangkan, pikir Sehun lagi.

“Kebetulan, kelasku berikutnya adalah kelas Profesor Jung. Bagaimana kalau kita ke sana bersama?” tawar Sehun sembari membalas senyum Luhan. Ia berdeham sebentar, kemudian menambahkan, “Omong-omong, bahasa Koreamu sangat bagus.”

Eumm, aku sudah cukup lama belajar, jadi… begitulah.”

Sehun mengangguk-angguk mengerti, lantas kembali melanjutkan perjalanannya menuju kelas Profesor Jung. Luhan bergegas menjajari langkah Sehun, masih dengan senyum ramah terpasang di wajahnya. Ia menepuk bahu Sehun sekilas, kemudian berucap riang, “Senang berkenalan denganmu, Sehun!”

“Sama-sama. Mungkin kita bisa menjadi teman?”

Teman. Persis, itulah yang Luhan butuhkan saat ini.

“Oke, teman.” Luhan melingkarkan lengannya pada pundak Sehun, senang saat pemuda itu tidak mendorongnya menjauh atau terlihat risih. Taemin dan Kai benar, Sehun adalah lelaki yang baik hati dan menyenangkan. Sedikit-banyak, ini cukup membantu Luhan dalam menyelesaikan tugas rahasianya.

“Oh ya, Luhan, kausuka minum bubble tea, tidak?”

 

***

“Wow, kalian benar-benar berteman rupanya.”

Luhan mengangkat kepalanya, nyaris saja mengumpat kaget saat ia mendapati sosok Taemin dan Kai yang tengah duduk bersantai di atas dahan pepohonan. Halaman belakang kampus tersebut tampak lengang, sepi dari aktivitas para mahasiswa. Luhan menoleh ke kanan dan kiri sejenak, memastikan bahwa ia benar-benar sendirian sebelum membalas ucapan Kai.

“Bukankah kalian yang menyuruhku untuk mendekati pemuda itu?”

“Tapi, kau terlihat sangaaaaat akrab dengannya,” kekeh Kai dengan nada melebih-lebihkan. Luhan memutar kedua bola matanya, tidak bisa sepenuhnya menampik perkataan Kai barusan. Sehun memang menyenangkan. Mereka baru berteman selama tiga hari, tetapi pemuda itu tahu benar bagaimana cara membuat Luhan merasa nyaman dengan lingkungan barunya. Topik pembicaraan mereka pun selalu sejalan, seolah––jika bukan karena fakta bahwa mereka berdua adalah makhluk yang berlainan––mereka memang ditakdirkan untuk bersahabat dekat.

“Jadi, Luhan, bagaimana kemajuannya?” Taemin memotong obrolan kekanak-kanakan tersebut, raut wajahnya dipenuhi rasa ingin tahu.

Luhan mengedikkan kepala, kemudian bergumam pelan, “Seperti yang Kai bilang tadi, kami sudah berteman akrab. Haruskah aku mempertemukan dia dengan Soo Jung sekarang? Atau aku harus menunggu hingga akhir minggu?”

Taemin terdiam sejenak, menimbang-nimbang. Ia melompat turun dari atas pohon, mendarat tepat di depan Luhan dengan kening berkerut dalam. Mungkin ada baiknya jika Sehun dan Soo Jung segera dipertemukan. Lagi pula, bukankah ia sudah ikhlas untuk melakukan ini semua?

“Besok, bagaimana? Kau sudah tahu ‘kan, tempat Soo Jung bekerja?”

“Tentu. Aku cukup mempertemukan mereka, bukan?” sahut Luhan seraya mengangkat bahu, seakan-akan semua ini teramat mudah untuk dilakukan. Memang, apa sih susahnya menyatukan kedua insan yang jelas-jelas masih saling mencintai ini? Luhan memang belum terlalu mengerti bagaimana seluk-beluk kehidupan seorang Oh Sehun, namun ia tahu persis bagaimana perasaan lelaki itu terhadap Soo Jung. Isi hati Sehun dapat terbaca dengan begitu jelasnya, laksana sebuah buku yang terbuka lebar.

“Dan memastikan mereka untuk bersatu, tentunya,” imbuh Kai sembari menyandarkan tubuhnya di batang pohon dan menguap lebar-lebar. Ia mengacungkan telunjuknya ke arah Luhan, kemudian menambahkan, “Pastikan adikku bahagia, oke?”

“Oke. Dan bicara soal tugas, bagaimana dengan berkas-berkasku?”

Errr….”

Luhan mengangkat sebelah alisnya dan menyilangkan kedua tangan di depan dada, tampak mengintimidasi. Oh, jangan harap ia mau menyelesaikan tugasnya semudah itu. Perjanjian tetaplah sebuah perjanjian. Tidak ada kata tawar-menawar di sini.

Well, kami sudah selesai mengurutkan berkas-berkas itu sebanyak seperduabelas bagian,” jawab Kai pelan, membuat Luhan membeliak marah dan nyaris saja meloncat ke atas pohon untuk menarik pemuda itu turun.

“Seperduabelas?! Kalian sadar betapa sedikitnya itu, hah?”

“Hei, hei, kami ini bukan anggota dewan sepertimu yang sudah terbiasa melihat tumpukan kertas! Mataku sampai sakit karena harus terus-terusan memelototi setiap tanggal yang tertera di sana!” sungut Kai kesal, tampak masih tidak terima karena ia harus diikutsertakan dalam tugas tambahan ini.

“Dan kaupikir aku tidak lelah karena harus menyamar jadi manusia?” balas Luhan lagi, kali ini sambil menjentikkan jemarinya dan memunculkan sebuah tongkat setinggi dua meter dengan pisau kapak yang terpasang di atasnya. Kai berjengit mundur, serta-merta mengalah saat melihat Luhan mengeluarkan death scythe-nya.

“Sudahlah, kalian berdua. Kai, hentikan sikap kekanak-kanakanmu sebelum aku menendangmu kembali ke Outsiders. Dan Luhan, aku akan menyelesaikan tugas itu tepat pada waktunya, tenang saja.” Taemin memijat pelipisnya, lelah melihat semua perdebatan ini.

Luhan mengangguk singkat, kakinya menapak mundur selangkah. Ia juga tidak benar-benar berniat melukai Kai, tentu saja. Kendati begitu, sebelah tangannya masih mengenggam deathscythe­ miliknya, sekadar untuk membuat Kai takut dan tidak berani bertingkah macam-macam. Menurut Luhan, mempermainkan Kai hingga membuat bocah itu merengut kesal adalah kesenangan tersendiri baginya. Ia melambai-lambaikan senjata kebanggaannya hingga hampir menyentuh ujung sepatu Kai, sampai akhirnya––

“Luhan! Aku mencarimu kemana-mana, tahu!”

 

Plop!

 

Luhan bergegas melenyapkan death scythe-nya dalam satu kibasan kala suara Sehun mencapai indra pendengarannya. Ia berbalik cepat, seulas senyum lebar kembali terukir di wajahnya. Tampak Sehun yang tengah berlari-lari kecil ke arahnya sembari melambaikan tangan, sama sekali tidak menyimpan kecurigaan terhadap Luhan.

“Sehunnie, mau menemaniku ke suatu tempat?”

Hmm? Sebenarnya, aku baru mau mengajakmu jalan-jalan. Memangnya mau ke mana?”

“Ada sebuah café yang menarik perhatianku di dekat sini. Bagaimana kalau kutraktir?” tawar Luhan penuh semangat. Tanpa perlu banyak berpikir, Sehun langsung mengiyakan ajakan itu––tak kalah bersemangatnya dengan Luhan barusan.

“Setuju! Kita pergi sekarang?”

“Yep!” Luhan menarik lengan Sehun, mengajak pemuda itu untuk berjalan di sampingnya. Dari sudut matanya, Luhan masih bisa menangkap sosok Taemin dan Kai yang tersenyum ke arahnya sembari mengacungkan ibu jari, mulut mereka membentuk rangkaian kata-kata untuk menyemangati Luhan.

Semoga sukses.”

Luhan membalas ucapan itu dengan mengedipkan sebelah matanya, tanda bahwa ia sudah paham dan akan berjuang sebaik mungkin untuk mempersatukan Sehun dan Soo Jung. Ya, Luhan melakukan hal ini bukan hanya demi Taemin dan Kai saja, melainkan juga untuk Sehun––si pemuda baik hati yang sudah bisa ia sebut sebagai sahabat. Sehun––seperti halnya Soo Jung––juga layak untuk hidup bahagia.

“Sehunnie?”

“Ya?”

“Kau pasti akan menyukai café ini, percayalah padaku.”

***

 

Ada apa denganmu, Soo Jung?

 

Gadis itu sibuk menggigiti bibir bawahnya, raut wajahnya terlihat sedikit linglung dan kosong. Jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja kasir yang berada di sampingnya, pikirannya menerawang pada kilasan-kilasan mimpi yang ia alami semalam.

Selama beberapa bulan terakhir ini, mimpi Soo Jung selalu dipenuhi oleh hal-hal yang tak masuk akal, namun juga tidak bisa ia lupakan begitu saja. Min Hyuk, Jong In Oppa, shinigami, masa lalunya yang kelam… semua kejadian yang terpaksa ia telan bulat-bulat dan harus ia percayai kebenarannya. Terlalu banyak informasi yang dijejalkan ke dalam benaknya––membuat ia terpaksa membawa sebagian dari keanehan itu ke alam mimpi. Semua ini membuat Soo Jung sering berandai-andai akan satu permohonan. Sederhana saja; kapan kiranya ia bisa tidur lelap dan menyaksikan sebuah mimpi yang cukup normal?

Soo Jung sudah mengharapkan hal itu selama berhari-hari lamanya, dan tadi malam, keinginan itu pun terkabul dengan sendirinya.

Ia tidak tahu apa yang salah dengan otak atau memorinya, tetapi mimpi semalam––alih-alih membuatnya senang––malah semakin mengusik isi hatinya, menarik keluar semua perasaan yang pernah ia pendam dalam-dalam.

“Oh… Se… Hun.” Soo Jung melafalkan tiga suku kata itu dalam gumaman pelan, kepalanya ditelengkan dengan ekspresi tak terbaca. Campur aduk, itulah satu kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi hatinya saat ini.

Soo Jung bukanlah seorang gadis cengeng atau naif yang terlampau percaya pada keajaiban cinta dan hal-hal melankolis seperti di dalam drama. Kala ia menolak Sehun dulu, maka pada saat itu jugalah ia memutuskan untuk mengubur semua kenangan bahagia yang pernah mereka jalani. Jadi, sekarang, mengapa semua memori itu mendadak kembali menyeruak keluar?

 

 

“Apa kau pernah merindukanku, Soo Jung-a?” Sehun menundukkan kepalanya dengan ekspresi ragu yang membayang, setangkup senyuman manis terkulum di bibirnya.

“Aku….”

“Kalau aku, iya. Aku masih memikirkanmu, hingga saat ini.”

 

 

“Soo? Soo Jung-a?”

Soo Jung mengerjap beberapa kali.

Ya! Jung Soo Jung!”

“A-Ah… Manager Park. M-maaf.” Soo Jung buru-buru membungkukkan badannya berulang kali, fokusnya kembali teralih pada sosok tinggi menjulang yang ada di hadapannya. Lamunannya akan sepotong kejadian dalam mimpinya semalam buyar seketika. Bodoh kau, Jung Soo Jung!

“Ada pelanggan yang memanggilmu sejak tadi. Tolong kau layani mereka, oke?”

“Tentu. Saya permisi dulu.” Soo Jung kembali membungkukkan badan untuk memberi hormat, kemudian bergegas menyambangi meja yang dimaksud.

 

Lupakan, lupakan….

 

Soo Jung terus mengulang kata itu di dalam kepalanya bagaikan mantra, memaksa dirinya untuk

kembali tenggelam di dalam pekerjaan.

Ya, lupakan dia, Soo Jung. Kau tentunya sadar bahwa semua itu adalah mimpi. Bunga tidur yang terbentuk dari ilusi, potongan kisah yang sama sekali tidak menyentuh realita. Dan lagi, mana mungkin Sehun masih memikirkan dirimu? Sudah berapa lama kalian tidak bersua? Jadi, lupakanlah. Lupakan masa lalumu. 

 

Soo Jung mengembuskan napas dalam desahan berat.

Barangkali, otak Soo Jung semalam hanya ingin mengenang kembali sebagian dari masa-masa indah yang pernah gadis itu jalani. Boleh jadi, itulah sebabnya mengapa sosok Sehun kembali muncul di dalam benaknya. Cukup masuk akal. Belum tentu Sehun masih mengingat dirinya. Mereka sudah memutuskan untuk berpisah pada hari itu, saling menjauh dan mengikuti jalan hidup masing-masing. Tidak mungkin Sehun masih mengingat dirinya… tidak akan… tidak––

 

––sayangnya, tidak ada satu hal pun yang mustahil di dunia ini.

Tampaknya Soo Jung melupakan peribahasa yang satu itu.

Langkah kakinya berhenti di depan meja bernomor enam––atau lebih tepatnya, ia mematung di sana. Maniknya tertuju pada seorang lelaki yang tengah tertawa kecil dengan mata melengkung seperti bulan sabit. Rambutnya yang dulu berwarna hitam kelam kini telah dihiasi semburat kecokelatan di sana-sini, menambah daya tarik pria itu di mata Soo Jung. Kulitnya masih sama persis dengan apa yang diingat Soo Jung dulu; putih bersih layaknya anak kecil. Seakan, tahun-tahun yang telah berlalu tidak cukup untuk menghapuskan figur itu sepenuhnya dari ingatan Soo Jung.

“Sehun.”

Dan dunia Soo Jung pun kembali dijungkir-balikkan oleh satu pertemuan tak terduga ini.

Kapan ia bisa berhenti menerima kejutan di dalam hidupnya?

***

“Aku masih tidak mengerti apa bagusnya café ini.” Sehun mendengus sembari meregangkan tubuh. Perjalanan dari kampusnya menuju tempat ini memakan waktu hingga satu jam, cukup untuk membuat otot-otot Sehun terasa lelah karena terpaksa berdiri dan berdesakan di dalam bus. Di depannya, Luhan hanya menyeringai kecil dan menertawakan tingkah polah Sehun yang dirasa berlebihan.

“Kau tidak akan menyesalinya, Sehunnie. Aku suka tempat ini,” jawab Luhan sambil melambaikan tangannya ke seluruh penjuru café.

Sehun merebahkan punggungnya pada sandaran sofa, jemarinya kini memainkan buku menu yang tergeletak di atas meja. Bibirnya mengerucut maju, sementara otaknya sibuk menimbang-nimbang soal apa-yang-sebaiknya-ia-pesan. Tak butuh waktu lama, ia sudah melempar pandang menyelidik ke arah Luhan dan bertanya dengan nada penuh harap, “Kau yang membayar ‘kan?”

“Tentu saja. Kaukira aku berbohong?”

Sehun langsung memasang cengiran puas, sementara Luhan mengangkat tangannya dan menjentikkan jari untuk mengundang seorang pelayan yang tengah berdiri di depan meja kasir. Mereka kembali tenggelam di dalam tawa dan obrolan, sama sekali tidak menyadari kehadiran si gadis pelayan, sampai––

 

“Sehun.”

 

––nama Sehun meluncur dengan bebasnya dari bibir gadis itu.

Sehun menghentikan tawanya detik itu juga. Ia sedikit menolehkan kepalanya untuk mencari-cari siapa orang yang telah menyebut namanya, masih belum sadar bahwa gadis pelayan itulah yang tadi menyerukannya.

“Sehun. Kau… Oh Sehun, bukan?”

Kali ini, kepala Sehun tertuju pada arah yang benar. Lelaki itu mengedipkan kelopaknya berulang kali, terlihat tidak percaya dengan apa yang tersaji di depan matanya. Mulutnya terbuka lebar, ujung jemarinya gemetaran tatkala ia mengulurkan tangan untuk menyentuh lengan gadis itu. Memastikan bahwa ini semua adalah nyata.

“Soo Jung? Jung Soo Jung?

“Kau… mengingatku?”

“Tentu saja,” balas Sehun dalam bisikan pelan. Pikirannya mendadak terasa berkabut, seolah ia sedang berada di ambang batas kesadaran. Ia tidak sedang berhalusinasi, bukan? Jari-jarinya saat ini tengah melingkari pergelangan tangan Soo Jung, merasakan nadi yang berdenyut di dalam sana. Kehangatan kulit gadis itu seolah memancar, menegaskan kehadiran sosoknya yang teramat susah untuk dipercaya.

Ini sebuah kebetulan. Kebetulan yang benar-benar menarik.

“Kalian saling mengenal?”

Pertanyaan Luhan menginterupsi lamunan keduanya, membuat Sehun tersentak kaget. Ia melepaskan genggamannya pada tangan Soo Jung, kemudian mengangguk cepat. Lidahnya terasa kelu, pun dengan sel-sel di kepalanya yang mendadak membeku. Ia belum sanggup untuk mencerna semuanya dengan baik––tidak ketika kejutan besar semacam ini disodorkan tepat di bawah hidungnya.

Hening melingkupi suasana di sekitar mereka, seolah-olah keramaian di seluruh café tak lagi bisa didengar. Sehun menggaruk-garuk tengkuknya dengan kikuk, tidak tahu harus berkata apa. Ia memang merindukan Soo Jung, sangat. Namun, ketika akhirnya ia bisa bertatap muka dengan gadis itu, semua kalimat yang tadinya ingin ia sampaikan lenyap begitu saja.

Soo Jung-lah yang pertama kali memecahkan suasana canggung tersebut.

“Sehun-a, umm… mau pesan apa?”

“Aku mau iced frappuccino dan satu porsi ice cream pancake,” jawab Luhan cepat. Soo Jung bergegas mencatat pesanan Luhan, kemudian berpaling ke arah Sehun yang masih bungkam. Gadis itu berdeham sekali, berusaha menarik perhatian Sehun.

“E-eh… apa minuman favoritmu?”

“Aku?” Soo Jung menelengkan kepala, bingung mendengar pertanyaan Sehun yang bisa dibilang aneh––terlebih jika mengingat fakta bahwa mereka baru saja bertemu kembali setelah sekian tahun tak berjumpa. “Iced chocolate. Memangnya kenapa?”

“Kalau begitu aku pesan iced chocolate… dua. Aku… bolehkah aku berbicara denganmu, Soo Jung-a? Sebentar saja?”

Soo Jung mengedarkan pandangnya ke sekeliling café, berpikir sejenak. Ia mendapati meja-meja yang masih terisi penuh oleh para pengunjung, tampak sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Antrian di depan café pun terlihat lengang––itu artinya ia tidak perlu melayani pengunjung atau sibuk mondar-mandir mencarikan meja selama beberapa waktu ke depan.

“Baiklah.” Akhirnya Soo Jung menganggukkan kepala, menyetujui permintaan Sehun. “Tunggu sebentar, aku akan membawakan pesanan kalian dan… kita bisa berbicara.”

Soo Jung membungkukkan badannya sekilas, kemudian berbalik dan langsung berjalan menujupantry. Ia belum melangkah terlalu jauh ketika suara Sehun kembali terdengar, membuatnya menarik sudut-sudut bibir demi membentuk seulas senyum lebar.

“Terima kasih. Aku… aku merindukanmu, Soo Jung-a.

               

***

 

“Luhan benar-benar hebat, iya ‘kan, Hyung? Soo Jung tampak bahagia.”

Yeah. Mereka terlihat serasi.” Taemin menghela napas berat, pupilnya kembali tertuju pada sosok Soo Jung yang tengah asyik mengobrol dengan Sehun. Pertemuan itu berjalan lancar, tanpa adanya kecurigaan maupun pertanyaan-pertanyaan penuh selidik dari Sehun. Luhan sudah merancangnya dengan sempurna, bertingkah seolah-olah semua ini adalah kebetulan semata.

Hyung, kau tidak apa-apa?”

Mmm… aku sudah ikhlas, Kai. Aku tidak mungkin merusak kebahagiaan mereka.”

Hyung….

Taemin menolehkan kepalanya, hampir saja berteriak panik kala ia melihat iris kelam Kai yang mulai dibasahi air mata. Partner-nya itu menundukkan kepala dalam-dalam dengan mimik muka menyesal, terlihat seperti anak kecil yang baru saja merusakkan mainan temannya tanpa sengaja.

“Hei, kau kenapa?”

“Maaf. Tidak seharusnya aku berkata seperti itu, ‘kan?”

“Kai….”

“Seharusnya aku memikirkan perasaanmu. Soo Jung memang bahagia, tetapi kau….” Kai menahan ucapannya di ujung bibir, terlihat semakin merasa bersalah. Taemin mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk pundak Kai, berusaha menenangkan pemuda itu. Ia bisa memahami bagaimana beratnya berada di posisi Kai saat ini––terbagi antara rasa senang dan sedih pada saat yang bersamaan.

“Sudahlah. Aku baik-baik sa––”

Taemin belum menyelesaikan ucapannya, namun Kai sudah lebih dulu memeluknya erat dan nyaris membuatnya terjengkang ke belakang. Sahabatnya itu membenamkan wajah pada lekukan bahunya, membasahi kemeja hitam Taemin dengan bulir-bulir air matanya yang berjatuhan.

“Kenapa kau yang menangis, bodoh?”

“Apa kau tak ingin menangis, Hyung?” balas Kai polos, diselingi isakan kecil yang masih tercurah keluar. Taemin terdiam beberapa saat lamanya, memikirkan pertanyaan Kai barusan.

Sejujurnya, ia pun ingin menangis. Bohong jika ia berkata bahwa hatinya baik-baik saja, karena nyatanya ia pun merasa sakit saat melihat kebersamaan Sehun dan Soo Jung. Ia rela Soo Jung bahagia, tetapi apa ia bisa mengusir rasa sesak yang datang mengiringi? Perihnya patah hati dan rasa cemburu itu bukan sesuatu yang bisa ia kendalikan. Ia hanya bisa menerimanya dengan tangan terbuka, kemudian mencari jalan untuk mengatasinya di kemudian hari.

Taemin tidak punya pilihan, dan ia tahu itu.

“Kalau aku menangis….” Taemin memulai, lengannya kini terangkat untuk membalas pelukan Kai. “Kalau aku menangis, bukankah itu artinya aku belum merelakan Soo Jung? Apa aku punya hak untuk itu? Untuk menangisi kebahagiaan seseorang?”

“Kau bukan menangis karena Soo Jung bahagia, Hyung,” bantah Kai cepat seraya menarik diri. “Kau menangis untuk melepaskan rasa sakit, untuk membuang beban yang menggumpal di dalam dada. Untuk itu, kau berhak melakukannya.”

Itu benar.

Taemin mencintai Soo Jung, itu sudah jelas. Maka, selamanya ia pun akan tersenyum untuk kebahagiaan Soo Jung. Dan seperti kata Kai tadi: menangislah untuk melepaskan beban.Tentunya, ini tidak akan mencederai rasa senang yang tengah Soo Jung rasakan, benar begitu? Ia hanya perlu melarikan diri sejenak untuk memulihkan rasa sakit yang mendera, lalu ia bisa kembali tersenyum dan berbahagia atas apa pun keputusan Soo Jung nantinya.

“Keluarkan saja. Aku tahu kalau kau adalah seorang laki-laki yang hebat, Hyung. Kau kuat, tidak peduli pada apa pun yang merintangi. Tetapi, yang terkuat dan terhebat pun juga membutuhkan sebuah sandaran, bukan?”

Taemin mengangkat kepala, menatap balik Kai yang kini tengah merentangkan kedua lengannya. Sebentuk senyum tulus terukir di bibirnya, seolah meyakinkan Taemin bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Hyung?”

Tanpa pikir panjang, Taemin pun kembali membiarkan dirinya larut dalam dekapan Kai. Kali ini, ialah yang menyandarkan dirinya pada pundak sang sahabat, membiarkan air mata yang sudah ditahannya sejak dulu menetes tanpa jeda.

Lagi-lagi Kai benar.

Menangis itu tidak buruk. Bebannya kini seolah terangkat, pun dengan rasa perih dan sesak yang menghantui hatinya. Semuanya keluar, pergi bersama dengan butiran-butiran kristal air yang mengalir melalui sudut-sudut matanya.

“Sejak kapan kau menjadi begitu dewasa, Kai? Sejak kapan kau bisa menjadi tempatku bersandar?”

“Sejak aku sadar bahwa aku menyayangimu. Aku hidup menderita di muka bumi, berusaha keras menjadi seorang kakak yang baik untuk Soo Jung. Aku lelah, Hyung. Namun, setelah aku meninggal dan bertemu denganmu, semuanya pun berubah.”

Taemin memutuskan untuk bungkam, membiarkan Kai mencurahkan rahasia-rahasia terdalamnya.

“Kau menanggung beban dan tanggung jawab untuk memberiku hidup kedua. Kau mengurusku dan menganggapku sebagai saudaramu sendiri. Itu sudah cukup berat untuk ditanggung, tetapi rupanya kau masih menyimpan sebentuk rasa sesal dan sakit karena mencintai Soo Jung. Terkadang aku berpikir, bagaimana bisa kau bertahan dengan semua itu?

“Apa kau tidak ingin menyerah? Apa kau tidak ingin menangis dan membuang semua tanggung jawabmu begitu saja? Tidakkah kau lelah dan membutuhkan tempat untuk bersandar? Terlalu banyak pertanyaan di dalam benakku, dan lama-lama aku pun tersadar.”

“Sadar? Soal apa?” potong Taemin akhirnya, penasaran. Ternyata, Kai begitu peduli padanya. Lelaki yang sering ia anggap kekanak-kanakan itu rupanya benar-benar memperhatikan dirinya, bahkan cenderung mencemaskannya.

“Aku sadar bahwa… aku juga bisa memberimu kekuatan. Kau selalu memperhatikanku, bukankah ini saatnya bagiku untuk membalas budi? Seorang sahabat akan selalu mendukung kawannya dalam keadaan apa pun juga, iya ‘kan?”

Sahabat.

Inikah rasanya diperhatikan oleh seseorang? Beginikah rasanya memiliki seseorang yang teramat dekat denganmu, lebih dari sekadar partner atau rekan kerja? Taemin memang tidak bisa memiliki Soo Jung, tetapi setidaknya ia masih memunyai Kai di sisinya. Seorang sahabat yang akan selalu menopangnya di kala terjatuh, tempatnya berkeluh kesah tanpa perlu takut ditertawakan atau dicemooh.

Terdengar sempurna.

“Ya, kau benar, Kai. Terima kasih, sungguh…aku….” Taemin kembali terisak kecil, dan kali ini ia tak sendirian. Kai ikut menangis lagi, bersamanya. Itu ‘kan gunanya sahabat? Melipatgandakan rasa senang bersama, juga membagi kesedihan yang mereka rasakan bersama.

“Sama-sama, Hyung. Aku yakin, kau pasti bisa melalui ini.”

Taemin mengangguk mantap, sudut matanya menangkap sosok Soo Jung yang sedang asyik tertawa kecil kala mendengar ocehan Sehun. Tidak apa-apa. Soo Jung sudah menemukan kebahagiaannya, maka tugas Taemin pun juga telah usai. Semuanya berakhir dengan baik, jadi ia tak boleh terus-menerus merasa sedih seperti ini.

“Soo Jung, jangan sia-siakan Sehun. Be happy, and I will be happy too.”

 

***

“Kerja bagus. Kai, Taemin, dan juga Luhan, kalian telah menyelesaikan semuanya dengan sempurna.”

Kris menyeringai puas, kemudian menepukkan tangannya beberapa kali. Sinar matanya tampak cerah, senang karena semua masalah ini bisa berakhir tanpa kurang suatu apa pun. Bahkan Taemin dan Kai––dua shinigami muda yang selalu membuatnya khawatir––bisa berubah menjadi sosok yang lebih dewasa setelah melewati semua rangkaian kejadian ini.

“Luhan, tidak ada satupun manusia yang curiga, bukan?”

“Tidak, Master. Semuanya berjalan lancar.”

“Bagaimana caramu mengucapkan perpisahan pada Sehun? Kalian tampak akrab, memangnya kau tidak sedih karena harus berpisah?” Kai mengerutkan keningnya, ingin tahu. Di matanya, Sehun dan Luhan memang terlihat seperti sepasang saudara. Meskipun hanya seminggu saja, Kai tetap yakin bahwa kedua orang itu mulai menumbuhkan rasa sayang di antara satu sama lain.

“Aku berkata pada Sehun, mungkin suatu saat nanti kita bisa bertemu. Jika takdir mengizinkan,” gumam Luhan seraya memainkan ujung sepatunya. Di seberang mereka, Kris menganggukkan kepalanya sekali, paham dengan maksud tersembunyi di balik ucapan Luhan.

“Bisa diatur. Sekali lagi turun ke bumi untuk mencabut nyawa manusia, bukan? Baiklah.”

“Terima kasih, Master.

“Apa yang sedang kalian bicarakan?” Kai mengernyit, bingung.

“Luhan bermaksud untuk menempatkan dirinya sebagai shinigami yang akan mencabut nyawa Sehun kelak. Dengan cara itu, setidaknya mereka masih bisa bertemu,” jelas Taemin santai, ikut bergabung di dalam percakapan ini. Matanya masih sedikit sembab, namun senyum yang tersungging di bibirnya terlihat tulus dan cerah.

“Baiklah. Semua masalah sudah terselesaikan. Past, present, future––rantai kehidupan seorang Jung Soo Jung sudah lengkap sekarang.” Kris kembali berjalan ke balik meja kerjanya, kedua tangan bertaut di belakang punggung. Pimpinan para shinigami tersebut menatap ketiga bawahannya dengan sorot bangga, sedikit senyuman––yang bisa dibilang langka––mulai menghiasi wajah kakunya.

Master, apa semuanya sudah benar-benar berakhir?”

“Ya, Taemin. Semua masalah kalian yang berhubungan dengan gadis itu sudah selesai. Kalian bisa kembali pada tugas normal kalian sebagai shinigami,” sahut Kris dengan nada yakin.

“Jadi, Soo Jung akan bahagia sekarang?” Kali ini, Kai-lah yang bertanya. Kris memandangnya sejenak, kemudian menggeleng pelan.

“Kenapa?”

“Karena bahagia itu bukan sesuatu yang konstan, Kai. Akan ada masa dimana ia bisa merasakan kesedihan atau kekecewaan, juga rasa sakit. Tetapi, percayalah, masa depannya akan jauh lebih baik daripada masa lalunya. Apa yang sudah kalian semua lakukan––kau, Min Hyuk, dan Taemin––tidak akan berakhir dalam kesia-siaan belaka.”

“Saya mengerti, Master.

“Omong-omong soal Min Hyuk, aku baru saja meminta izin pada Suho. Kalian bisa mengunjunginya di Afterlife dan menceritakan kabar terbaru Soo Jung, kalau kalian berkenan.”

“Tentu saja!” balas Kai penuh semangat, kepalanya tertoleh cepat ke arah Taemin. “Kau tidak keberatan ‘kan, Hyung? Atau kau masih cemburu padanya?”

Taemin meninju lengan Kai pelan, berpura-pura jengkel. Ia lekas menggelengkan kepalanya, membantah ucapan konyol Kai barusan. Mana mungkin Taemin membenci arwah manusia yang satu itu? Min Hyuk adalah lelaki yang baik dan penuh pengertian, orang yang membantu Taemin untuk merasa ikhlas dalam melepaskan Soo Jung.

“Aku tidak cemburu pada Min Hyuk, tidak lagi.”

“Sungguh?”

“Ya,” sahut Taemin ringan, tangannya terulur untuk menggandeng milik Kai. “Ayo kita menemui Min Hyuk.”

Keduanya menundukkan kepala sekilas, memberi hormat kepada sang pimpinan sebelum beranjak pergi. Jemari mereka masih saling bertautan, langkah demi langkah yang mereka rajut terasa begitu ringan. Tidak ada lagi beban, tidak ada lagi masalah. Akhirnya mereka bisa bersantai barang sejenak dan––

 

“Jangan lupakan berkasnya! Kutunggu di kantor House of Warden, segera setelah kalian kembali dari Afterlife!”

 

––ah, sial. Mereka melupakan Luhan.


*****

 

A/N:

Iya ini update-nya super lama, dan saya nggak bakal mencari-cari alasan kok, karena satu-satunya penyebab kenapa ini lama muncul adalah… nunggu feel nulis dateng .__.v

Sebenernya sih ini udah end, tapi aku masih bakal ngepost chapter 9 aka epilognya, kalau bisa sih dalam waktu dekat ini. Semua scene romance HunStal dan scene TaeKaiHyuk di Afterlife bakal aku masukin di last chapter ini ya :)

Thanks for reading, and mind to review?  :D

Life-After-Life: Unknown

4 thoughts on “Life-After-Life: Her Destined Man [8/9]

  1. KAK AMEERRR!!!!
    Biarkan Dhila merusuh di page ini yayayayaayaya????

    Okeh, ayo kita mulai…

    Jadi, ini nih chap 8 nya?? kak, ini udah END? Terus yang chap 9nya itu epilog?
    baik baik baik, Dhila mulai bersedih karena ini udah mau abis >>

    INI AKU BANGET!!!! Sehun! Kau tega membagi-bagi kisah cinta kita yang dahulu pada Kak Amer dan membiarkan ini dijadikan fic! Hunie! kamu tega.. huiks huiks..
    Bohong ah itu! Sehun gak rindu kok sama Kle //berusahamenghiburdiri//.. dia cuma nganggep Kle itu aku //ehbohongbesar//

    Dan uhuy.. ini HunHan ada di sini lah ya.. mwehehehe syadududu lalalala fufufufu //HunHanShippermendadakstress//
    deket amat kamu ayang-ayangku… pake segala panggil ‘sehunie’ pula.. ckckck kalian berdua bener-bener nyelingkuhin aku dan kak Silvya.. ckckck tapi gapapa deh, selama itu Luhan, aku ikhlas //ngibritbarengbiaslain//

    Ini couplenya berasa banget lah ya kak.. dari mulai MinStal, lanjut ke KaiStal, lanjut ke TaeStal //agakgakenak//, lanjut ke HunStal!!!! //berapi-api//, lanjut ke SuLay, HunHan, KaiLu, untunglah gak ada ChanBaek di sini.. tapi kayaknya aku nemu Chanyeol deh di sini.. yang jadi bosnya Soojung di cafe bukan??? jawab kak jawab!!! //dibacokKaiMer//ngibritbarengOdult//

    terus aja kak,, sakitin hati aku ///gubrak// maksudnya, terus aja senengin hatiku dengan meneruskan fic ini. karena aku gak sabar, apakah scene nya HunHan itu dipanjangin sampe sesi Pencabutan Nyawa apa enggak… terus ntar aku juga mau lah ya yang nyabut aku mereka //plak//dilirikmalaikatIzrail//-_-v

    kak, udah panjang belom Drabble Review ku diatas??
    //hening//lirikatas// o.o

    kayaknya udah cukup deh bentuk kesenanganku ini.. mwehehehe pokoknya aku tunggu lah last chap nya.. Dhila bakal menunggu lah ini.. //soksedih//
    hiks hiks segini (?) dulu ya kak… dadah kakak, pokoknya aku puas sama chap 8 ini. kayaknya udah cukup buat aku sama Sehun //geplak//

    yaudah ya kak //yaudahmulu//udahsonopergilu//hushhush//
    dadah kakak..
    TSUKIYAMARISA —–>>. JJAAANGGGGGGGG!!! ^^

    Like

  2. Mer, kenapa yang kutangkep disini malah HunHan moment, TaeKai moment ya :S sebenernya ini bromance atau romance /kicked xD

    Aku lupa fakta kalo luhan lebih tua dari kai, jadi pas luhan ‘mengintimidasi’ kai, kok berasa kurang pas xD

    Jangan salahkan aku pas moment TaeKai nangis aku malah ngakak /digampar

    Jadi happy ending nih ceritanya? *clap clap clap* eung~ nggak deh, luhan jadi yang terbuang ya bareng minhyuk xD

    Ditunggu epilognyaaaaa~ utang LAL mu sisa satu (lagi) /sigh xD

    Like

    • errr…eng… sebenernya ini…… emang bromance tan .____. /jdeer/
      bilangin waktu mau nulis ini tuh aku keracunan sama HunHan dan TaeKai momen, terus wangsit nulis juga dari mereka, ya beginilah jadinya…. makanya itu aku bilang bakal ada epilog, biar romance HunStal-nya masih kebagian tempat gituuuu~

      Aku lupa fakta kalo luhan lebih tua dari kai, jadi pas luhan ‘mengintimidasi’ kai, kok berasa kurang pas xD –> uh, kapan sih kamu bakal inget kalo si kai ini masih muda? T___T /nangisbareng /mojok/
      Luhan tuh yang udah lebih tua, dia kan kelahiran 90 taaaaaan u___u

      iya ini happy ending, buat HunStalnya xD si Taem-Hyuk mah galau-galau aja, luhan juga gitu /kicked xD

      oke, catet, utangku sisa satu yaaa~ besok kalo udah publish aku mention kaya biasa 😀 saengkyu intaaan 😀

      Like

Leave a comment