[8th Chapter] Vengeance

Standard

Vengeance

page

Main Cast:

  • [CNBlue] Jung Yong Hwa
  • [OCs] Catherine Kim
  • [CNBlue] Lee Jong Hyun

Genre: Family, Romance, Angst, Friendship, AU, Thriller

Rating: PG-16/17

Disclaimer: Storyline, OC, and picture belong to me. The main idea of the story is inspired by manga/anime Black Butler a.k.a Kuroshitsuji. This fanfic is only a fictional story.

Note: Ada yang masih inget sama ini? Rasanya udah berbulan-bulan yang lalu ya aku terakhir publish cerita ini di blog /kicked/ Akhirnya, setelah WB menghilang dan UAS selesai, lanjutan fic ini ku-publish juga, yay! Anyway, ini udah mau tamat… kurang dua chapter lagi.. lalu.. the end! Jadi, tolong review-nya yaaa ^^ Happy reading!

***

[Chapter 8]

Sometimes, knowing the truth is like drinking a cup of black coffee without any sugar…

.

.

“Kumohon, ijinkan aku meminjam rekaman itu.”

“Dan apa keuntungan yang akan aku dapatkan jika aku memberikannya kepadamu, Lee Jong Hyun-ssi?” tuntut Yong Hwa dengan nada tajam. Mereka berdua berdiri dalam diam, saling menatap dan menilai satu sama lain.

“Aku ingin mendengar kebenaran itu dari mulut ayahku sendiri. Aku membutuhkan rekaman itu sebagai bukti sebelum aku menuduh beliau lebih lanjut,” ungkap Jong Hyun tegas. Yong Hwa mengerutkan keningnya, tampak tidak sepenuhnya yakin dengan kepercayaan diri milik Jong Hyun.

“Apa kau yakin? Jika ayahmu benar-benar seorang pembunuh, lalu apa yang akan kau lakukan berikutnya? Membelanya?”

Yong Hwa melontarkan pertanyaan terakhirnya itu dengan nada sinis, mengakibatkan Jong Hyun tak kuasa untuk berkata-kata barang sedikitpun. Sejatinya, Jong Hyun sendiri pun bahkan belum memikirkan hal itu. Apa yang sedang ia lakukan ini mengandung risiko yang teramat besar.

“Baiklah, akan kuberikan kepadamu. Asal kau tanggung sendiri risikonya,” putus Yong Hwa akhirnya sembari melemparkan sebuah alat perekam yang langsung ditangkap oleh Jong Hyun. Tanpa mengucapkan sebuah salam perpisahan, Yong Hwa segera masuk ke dalam mobilnya dan berlalu menjauh.

Sementara itu, Jong Hyun masih terpaku di tempatnya dan memikirkan semua kata-kata yang terucap dari bibir Yong Hwa tadi. Orang itu benar. Apa yang harus Jong Hyun lakukan selanjutnya? Membela ayahnya walaupun ia tahu bahwa itu adalah hal yang salah?

Ia sendiri juga tidak tahu jawabannya.

***

Catherine Kim

Aku membiarkan pandangan mataku berkelana, menyusuri setiap sudut sekolah dengan tatapan bosan. Setelah beberapa hari mengasingkan diri di pulau Jeju, akhirnya hari ini aku pun memutuskan untuk kembali bersekolah.

Namun, sejujurnya, semuanya kini telah terasa begitu berbeda.

Aku yang dulu adalah sosok yang begitu terbiasa dengan kesendirian dan kesepian. Aku merasa nyaman-nyaman saja untuk melewatkan seharian penuh di sekolah tanpa teman mengobrol, berjalan kesana kemari tanpa seorang pun di sampingku, dan menghabiskan sebagian waktuku untuk merancang balas dendam keluargaku.

Tapi kini, semua kebiasaan-kebiasaan lama itu sudah tidak berlaku bagiku. Rasanya begitu aneh dan tidak tepat untuk kembali melaksanakan semua rutinitas-rutinitas harian itu. Aku yang sekarang menjadi tidak terbiasa dengan kehampaan dan kesendirian seperti ini.

Semua ini gara-gara pemuda itu, Lee Jong Hyun.

Aku harus mengakui bahwa ialah yang mengubah kepribadianku menjadi lebih ceria. Ia adalah satu-satunya sahabat yang kumiliki, teman berbagi dan berbicara, sekaligus orang yang mau menghabiskan waktu dengan seorang Catherine Kim yang terkenal anti-sosial. Ia adalah orang yang selalu bisa menyembunyikan masalahnya sendiri dan memilih untuk menyibukkan dirinya di dalam masalah orang lain.

Aku ingin melihatnya sekaligus tidak ingin pada saat yang bersamaan. Aku merasa bersalah, tetapi juga membencinya pada saat yang bersamaan pula.

Sedikit banyak aku berharap untuk dapat melihatnya walau hanya sejenak saja. Setidaknya aku bisa memastikan kalau ia baik-baik saja, meskipun tidak begitu adanya untuk hubungan kami. Itu sudah cukup bagiku. Aku hanya tidak ingin melihat sahabatku sendiri terluka.

Tetapi, apa boleh buat, Jong Hyun sendiri rupanya telah memutuskan untuk melakukan hal yang sama sepertiku. Mengisolasi dirinya sendiri, menjauhiku. Aku tahu bahwa pasti berat baginya untuk menghadapi kenyataan ini. Untuk menerima fakta bahwa ayahnya adalah seorang pembunuh. Wajar saja, jika ia memilih untuk tidak pergi ke sekolah akhir-akhir ini.

Aku memahaminya, aku mengerti akan perasaan itu. Meskipun begitu, tindakannya ini telah melipatgandakan perasaan bersalahku. Aku bahkan tidak bisa melihatnya lagi di sekolah, lalu bagaimana aku bisa meyakinkan diriku sendiri bahwa ia baik-baik saja?

“Kudengar murid pindahan itu akan kembali lagi ke sekolahnya di London. Benarkah?”

“Maksudmu, Lee Jong Hyun? Sayang sekali kalau begitu, bukankah dia itu cukup terkenal di antara siswi-siswi sekolah kita? Siapa sih, yang tidak mau menjadi pacarnya?”

Aku menoleh cepat, menangkap pembicaraan kedua siswi lainnya yang kebetulan melintas di dekatku. Kalimat demi kalimat mereka merasuk ke dalam otakku dan tidak butuh waktu lama bagiku untuk memprosesnya menjadi sebuah informasi. Bagai dihantam oleh sebuah batu besar, aku bisa merasakan pandanganku mulai mengabur karena air mata yang sudah menggenang di sana.

Jong Hyun, inikah salah satu usahamu untuk menjauhiku? Kembali ke London?

***

Lee Jong Hyun

Sudah saatnya.

Kubiarkan diam menggantung di antara kami, sementara aku sendiri sibuk meremas-remas kedua tanganku dengan perasaan tegang. Di depanku, tepat di balik meja kerja itu, duduklah ayahku dengan raut wajah yang tak terbaca.

“Tidak biasanya kau begitu ingin bertemu denganku, Jong Hyun-a.”

“Begitulah,” balasku singkat. Dengan canggung, aku sedikit menggeser posisi dudukku, berusaha menghindari tatapan mata ayahku yang tampak mengintimidasi.

“Jadi, ada masalah apa?”

Ada masalah apa?! Apa ayah sedang berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi?

Rasanya, ingin sekali aku meneriakkan kata-kata itu di hadapannya, menumpahkan semua kekesalanku. Dengan berat aku pun menarik napas, berusaha untuk menahan emosiku yang meluap-luap. Marah tidak akan membawa hasil apapun. Saat ini aku membutuhkan kebenaran, bukan sebuah pertengkaran.

Tanpa banyak kata, aku meletakkan alat perekam yang kudapatkan dari tangan Jung Yong Hwa ke hadapannya. Ayah melirikku sekilas dari sudut matanya, kemudian menekan tombol play dan mulai mendengarkan. Suara berat itu mulai berbicara tanpa jeda, membuat keringat dinginku mengalir semakin banyak tiap detiknya.

“Darimana kau mendapatkan rekaman ini?”

“Apa itu penting?”

Ayahku menghela napas berat, mengangkat rekaman itu dengan sebelah tangannya. Dalam hati, aku mulai berdoa agar butler keluarga Cathy itu masih memiliki salinan dari rekaman yang kini berada di genggaman ayahku. Siapa yang tahu? Mungkin saja beliau begitu murka dan memutuskan untuk memecahkan kaset itu hingga berkeping-keping.

“Kau percaya?”

Kubalas tatapan dari sepasang manik mata kelam ayahku, berusaha menelan ludah dengan susah payah. Aku tidak sanggup untuk memberikan jawaban, sekecil apapun itu. Tidak siap dan tidak tahu.

“Pilihan ada di tanganmu, Nak. Apakah kau mau memercayai rekaman ini atau kau memilih untuk memihak satu-satunya anggota keluargamu.”

“Lalu bagaimana dengan Ibu? Apa Ayah juga yang membunuh Ibu?” tuduhku langsung. Kali ini, beliau menunjukkan reaksi. Ketenangan yang tadi dipeliharanya menguap begitu saja. Kemarahan menghiasi setiap kerutan di wajahnya dan tangannya menggebrak meja yang membatasi kami dengan keras.

“WANITA JALANG ITU PANTAS MENDAPATKANNYA!”

Aku berjengit kaget, nyaris terlonjak dari kursi yang kutempati. Beliau mulai menuding-nuding diriku dengan jarinya, mengucapkan sumpah-serapah kasar yang hampir semuanya memiliki sangkut-paut dengan nama ibuku. Telapak tangannya mulai mengobrak-abrik kertas di meja dengan tampang frustasi, menyapu salah satu kertas yang ada tepat ke pangkuanku.

Kulirik cepat kertas itu, mendapati selembar cek yang siap untuk diuangkan. Tulisan tangan ayahku tercetak jelas disana, dengan nama Black Rose terpampang di kolom pihak penerima. Seketika itu juga, tubuhku membeku.

Black Rose. Sindikat pembunuh bayaran yang selalu disebut-sebut oleh Cathy dan Jung Yong Hwa. Kelompok sadis yang –menurut rekaman itu –menyatakan diri bahwa mereka memang memiliki hubungan kerja sama dengan ayahku.

Jadi itu semua benar? Apakah ayah baru saja mengakui dosanya yang lain? Membunuh ibuku?

“LEE JONG HYUN!”

Sudah cukup bagiku. Semua kenyataan ini sudah terlampau pahit untuk kutanggung.

Jika ayahmu benar-benar seorang pembunuh, lalu apa yang akan kau lakukan berikutnya? Membelanya?

Suara Yong Hwa kembali bergaung di dalam otakku. Menuntut sebuah jawaban. Kepastian.

Apa yang akan kau lakukan, Lee Jong Hyun? Membelanya?

Tentu saja tidak.

Aku tahu itu. Ayahku boleh jadi seorang pembunuh keji, namun tidak berarti aku harus menjadi seseorang yang sama, bukan? Aku tidak seperti itu. Setidaknya, masih ada akal sehat dan harga diri yang tersisa di dalam jiwaku. Masih ada yang bisa membimbingku untuk bertindak rasional dan membedakan mana yang benar serta mana yang salah.

Dan itulah jawabanku.

“Maafkan aku, Ayah…” ucapku getir. Kupastikan bahwa ini adalah terakhir kalinya aku akan melontarkan panggilan itu dengan nada hormat. Aku sudah cukup dewasa untuk bisa mengetahui orang mana yang layak untuk dihormati dan mana yang lebih pantas untuk diabaikan.

“KAU!”

Ayahku menarik cepat laci-laci mejanya, mengambil sebuah benda berwarna hitam mengkilap. Beliau mengacungkan benda itu ke arahku, matanya berkilat sadis. Sebegitu tidak berhargakah aku di matanya? Anaknya sendiri?

Aku melesat keluar bersamaan dengan bunyi pelatuk yang ditekan oleh jemari ayahku. Dentuman keras bergema di rongga telingaku, gesekan timah panas menyambar betis kananku. Tanpa menoleh lagi, aku segera menghambur keluar dan menutup pintu. Sakit mulai mendera kakiku, mungkin darah sudah mulai mengucur dari sana. Tetapi, kupaksakan diriku untuk segera keluar, melarikan diri dari rumah terkutuk ini.

Jauh, semakin jauh.

Dan aku tahu, aku tak akan pernah kembali lagi.

***

Jung Yong Hwa

“Nona, tidak mau makan?”

Catherine menggeleng untuk yang kesekian kalinya, menampik piring di hadapannya dengan tampang malas. Aku tidak bisa menyalahkannya untuk itu. Hubungannya dengan lelaki itu –Lee Jong Hyun –belum juga membaik. Kabar terakhir yang kudengar dari bibir Nona Cathy adalah tentang Jong Hyun yang akan segera pindah ke London.

“Haruskah saya mencarinya?”

“Tidak perlu. Kurasa, sudah cukup banyak masalah yang harus kita hadapi saat ini.”

Aku mengiyakannya, sepenuhnya setuju dengan pemikiran Catherine. Cukup banyak masalah. Sebenarnya, frasa itu tidaklah tepat. Hanya ada satu masalah. Satu yang bercabang menjadi sekian banyak, rumit, dan terlampau dalam untuk bisa diuraikan.

Bagaimana kelanjutan balas dendam kami? Bagaimana akhir dari semua ini?

“Nona, apa kita… harus berhenti?”

Nona mudaku ini mengangkat sebelah alis, binar matanya tampak sedih saat mendengar nada suaraku. Ia menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan dan kiri, kemudian mengangguk, dan detik berikutnya menggeleng lagi. Bimbang, aku tahu itu.

“Apa kau berniat menyuruhku untuk menambahkan kata ‘menyerah’ dalam kosakata hidupku?” balasnya dengan tawa getir. Aku buru-buru meralat ucapanku barusan, merasa bersalah telah membuatnya semakin terpuruk.

“Maksud saya…”

“Tidak apa-apa, Oppa. Lagipula, aku sudah menyusun langkah-langkah berikutnya,” ungkap Catherine, kali ini diiringi kekehan kecil. Aku membeliak, cepat-cepat mendudukkan diriku dan memandang Nona Cathy penuh perhatian.

“Sudah?”

“Begini, seandainya saja Jong Hyun benar-benar pindah ke London… itu artinya dia tidak akan berada disini lagi. Kami tidak akan saling bertemu dan itu akan menyelesaikan segala masalah.”

“Maksud Nona… kembali melanjutkan rencana itu selagi Jong Hyun tidak berada di Korea?”

“Menurutmu bagaimana?”

Aku mengangkat bahu, tidak begitu yakin harus menimpali dengan jawaban apa. Memangnya, Nona Cathy benar-benar tidak ingin melihat sosok Jong Hyun lagi? Yakin bahwa berpisah diam-diam, kemudian membunuh ayah Jong Hyun tanpa diketahui oleh yang bersangkutan adalah yang terbaik?

Ting! Tong!

“Saya permisi sebentar, Nona…”

Catherine mengangguk memberi ijin, tanpa disangka-sangka mulai menarik nampan berisi makan malamnya yang tertunda tadi. Aku menghela napas lega. Setidaknya, rasa lapar telah membuatnya menyerah untuk terus-menerus merajuk.

Kulangkahkan kakiku ke pintu depan, menarik besi keemasan itu hingga pintu terbuka. Nampak sesosok laki-laki berdiri di sana, basah kuyup akibat hujan deras yang mengguyur seluruh kota. Ia terlihat pucat dan aku langsung bisa menebak bahwa ia sedang terluka. Berdirinya sedikit pincang, sebelah tangannya terlihat mencengkeram kaki kanannya kuat-kuat.

Tetapi, bukan itu yang membuatku terkejut seperti ini.

Bukan apa yang kulihat, melainkan siapa.

“Yong Hwa-ssi, boleh aku masuk?” suara itu serak, memohon belas kasihan. Aku terpana, tak kuasa untuk memberikan tanggapan tanpa persetujuan Catherine.

“Lee Jong Hyun, sedang apa kau disini?” balasku dalam desisan kesal. Jong Hyun meringis kecil, kemudian mengulangi permintaannya tadi sebelum akhirnya ia jatuh tersungkur di hadapanku.

Well, another plan has just been cancelled.

“Nona Cathy? Sepertinya, kita punya masalah baru.”

***

Catherine Kim

Lee Jong Hyun.

Sebenarnya, apa sih yang dia pikirkan?

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku tak mengerti. Kedua bola mataku terus mengikuti gerakan tangan terlatih Yong Hwa yang sedang membubuhkan obat dan membalut luka di kaki Jong Hyun. Luka yang –sepertinya –berasal dari bekas tembakan.

Memangnya, apa lagi yang sedang terjadi disini? Setelah aku menembak Jong Hyun, ia raib begitu saja dari hidupku. Dan sekarang? Ia kembali lagi ke rumahku dengan membawa luka tembakan lainnya. Ditambah lagi, ia jelas-jelas sedang berada dalam kondisi yang buruk.

“Nona, saya sudah selesai…”

Mmm, aku akan menjaganya. Kau bisa beristirahat dulu, oppa. Aku akan memanggilmu jika ada yang kuperlukan nanti.”

Manik mata Yong Hwa langsung terarah padaku, pandangannya menyelidik. Terang sekali, ia tidak mau meninggalkanku berdua saja dengan Jong Hyun. Aku menggeleng kecil, mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“Tetapi…”

“Aku butuh bicara dengannya. Berdua. Dan aku harus meninjau ulang rencana kita.”

Yong Hwa terdiam mendengar nada memerintah dalam suaraku. Ia mengangguk kaku, kemudian berjalan keluar dari kamar dengan raut wajah tak rela. Aku mendesah keras dan mengibaskan sebelah tangan, membuat Yong Hwa mau tak mau segera beranjak dan menutup rapat pintu kamar kami.

Kududukkan diriku di atas kasur, menelusuri setiap inci dari wajah Jong Hyun menggunakan sudut mataku. Ia terlihat… pucat. Lemah. Tak berdaya. Dan aku tak pernah suka melihatnya berada dalam situasi seperti ini.

Kali pertama aku melihatnya sekacau ini adalah di pemakaman, ketika ia akhirnya mengetahui fakta dibalik kematian ibunya. Jadi, sekarang ini apa? Masalah ibunya lagi? Atau malah persoalan lain dengan ayahnya yang tak berperikemanusiaan itu?

“Cathy…”

Aku sontak menoleh, mendapati kelopak mata Jong Hyun yang setengah terbuka. Ia menatapku sayu, sebelah tangannya menggenggam erat-erat milikku. Sesaat, aku merasa bahwa hubungan kami kembali utuh seperti semula. Dua orang anak remaja yang saling memiliki masalah dan bergantung satu sama lain.

Yah, andai saja hidup semudah itu…

“Kau baik-baik sa–

“Tidak. Kau benar. Ayahku adalah pelaku dari semua ini. Dan dia… dia…”

Kubungkam mulutku rapat-rapat, tidak bermaksud untuk menyela pengakuannya. Ia tampak begitu susah untuk mengeluarkan kalimat berikutnya. Seolah-olah rangkaian kata berikutnya tersangkut di tenggorokan dan menolak untuk dikeluarkan.

“Ayahku membunuh ibuku,” Jong Hyun berucap lirih, membuat mataku terbelalak lebar. Air matanya mulai luluh, membuatku cepat-cepat membungkuk untuk mengusapnya dan menepuk-nepuk puncak kepalanya.

“Jadi…”

“AYAHKU BILANG IBU PANTAS MENDAPATKANNYA! ITU SAMA SAJA DENGAN MENGAKUI PEMBUNUHAN ITU, BUKAN?!” Jong Hyun meraung, membuatku tersentak kaget. Kudengar derap langkah kaki diluar sana –mungkin Yong Hwa oppa yang merasa panik setelah mendengar suara keras Jong Hyun.

“Jong Hyun–

“Nona! Semua baik-baik saja?” Yong Hwa tiba-tiba saja sudah berdiri di ambang pintu, napasnya terengah-engah. Aku menghela napas berat. Tidak ada yang baik-baik saja disini. Semuanya kacau.

Oppa, kita bicarakan ini di ruang tengah. Jong Hyun, aku mungkin tak pantas berkata seperti ini, tetapi percayalah padaku… please?”

Jong Hyun menggigit bibir bawahnya, bimbang. Ia bergantian memandangku dan Yong Hwa, kemudian mengangguk kecil. Mungkin ia sudah pasrah dengan keadaan yang ada dan memilih untuk menerima apapun yang akan terjadi berikutnya.

Aku balas mengangguk, kemudian bangkit berdiri dan menyeret Yong Hwa keluar dari ruangan. Sudah saatnya untuk mulai membereskan ini semua. Satu demi satu, semuanya harus mulai diuraikan. Dan dalam langkah demi langkahnya, akan kupastikan bahwa kehancuran  LD Corporation serta ayah Jong Hyun sudah berada di dalam genggaman tanganku.

The war is started. Now.

***

“Nona…”

“Kita akan tetap melakukannya. Lupakan Jong Hyun, lupakan semua masalah yang sedang kita hadapi. Orang itu harus mati… secepatnya,” aku mendesis kesal, membanting tumpukan kertas berisi data-data kasus pembunuhan orangtuaku.

“Tetapi, Lee Jong Hyun…”

“Kau dengar apa katanya tadi? Kupikir teriakannya itu sudah cukup keras, bukan?”

“Ya. Jadi kita… ikut membalaskan dendam pemuda itu?”

Kubiarkan kedua alisku bertaut, memikirkan pertanyaan Yong Hwa barusan. Dendam Jong Hyun? Aku bahkan tidak tahu bagaimana perasaan sahabatku itu terhadap ayahnya. Benci, mungkin iya. Tetapi dendam? Pada ayahnya sendiri?

Untuk itu, aku tidak memiliki jawabannya.

“Entahlah. Yang jelas, aku tidak bisa menunda lebih lama lagi. Soal Jong Hyun, aku tidak peduli pada apa yang ia pikirkan.”

“Baiklah. Kapan Nona ingin melaksanakan pembalasan ini?”

Aku memutar otakku, memikirkan hal-hal apa yang harus mulai kukerjakan. Mendadak saja, pikiranku terarah pada kata-kata Jong Hyun barusan. Aku boleh saja mengabaikan bagaimana perasaan Jong Hyun saat ini, namun aku tetap tidak bisa melupakan fakta bahwa ia adalah sahabat dekatku. Membantu Jong Hyun dalam menyelesaikan kasus pembunuhan ibunya sepertinya cukup menarik untuk dilakukan.

Kutatap Yong Hwa dengan ekspresi serius, mataku berkilat tajam saat rencana demi rencana mulai terbentuk di dalam benakku. Firasatku mengatakan bahwa hasil dari pembalasan dendam ini akanlah sangat membekas. Cukup untuk membuat laki-laki menyebalkan itu hancur dan memilih untuk mengakhiri hidupnya kelak.

Mata dibayar mata, nyawa dibayar nyawa.

Itu yang dibilang oleh orang-orang bukan?

“First step. Mari tuntaskan kasus ibu Jong Hyun. Mencari setiap bukti yang ada untuk memperberat hukuman yang akan kita berikan pada si tua bangka itu.”

Yong Hwa mengulum senyum, matanya menyipit saat ia mendengarkan perintahku. Ia pun segera membungkukkan badannya dalam, melontarkan balasan kepatuhannya atas setiap keinginan yang terucap dari bibirku.

Well, let’s see what you can do now. Run away from your sin?

I guess not.

***

“Cathy…”

Aku mengalihkan pandang dari setangkup roti bakar yang sudah siap kumakan, mendapati wajah lelah Jong Hyun sedang tertuju kepadaku. Ia tidak menyentuh sarapan paginya sama sekali, jemarinya sibuk mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan nada gelisah.

“Ya?”

“Apa kau akan… membunuh ayahku?

Aku tersentak, kali ini ikut mengabaikan makanan yang ada di depan mukaku. Tentu saja, Jong Hyun itu sangat mengenalku. Bukan hal yang susah baginya untuk menebak niat yang sudah lama kupendam ini.

“Bukan urusanmu. Dan jangan coba menghalangiku,” balasku ketus.

“Tidak. Aku tidak akan melakukan apa-apa. Selesaikanlah apa yang menjadi urusan kalian satu sama lain. Aku tidak ingin ikut campur.”

“Kau…  apa?” tanyaku cepat. Aku tak yakin jika pendengaranku menangkap semua kalimat Jong Hyun tadi dengan tepat. Ia akan menyerahkan ayahnya? Begitu saja? Sudahkah rasa duka mengubah rasa sayangnya pada sang ayah menjadi ketidakpedulian?

“Aku tidak mau ikut campur lagi. Ibuku sudah meninggal dan ayahku seorang pembunuh. Saat ini, aku hanya ingin melepaskan semua ikatan yang kumiliki dengan mereka. Melanjutkan hidupku sendiri.”

Jong Hyun mengucapkan semua keputusan itu dengan mantap. Seolah-olah ia sudah memikirkannya berhari-hari, yakin bahwa semua itu adalah yang terbaik. Aku mengangkat bahu, tidak mau berkomentar lebih lanjut. Jika itu maunya, baiklah akan kuturuti. Lagipula, ia sendirilah yang membuat semua ini menjadi lebih mudah bagiku.

Okay. Jadi, kau akan pergi?” ungkapku penasaran.

Maybe.”

“Karena, akan jauh lebih baik jika kau pergi,” tambahku lagi. Jong Hyun mendongak, manik hitamnya kini berada sejajar dengan milikku.

“Kenapa?”

Aku menghembuskan napas panjang. Berat bagiku untuk memberikan jawaban pada satu kata tanya itu. Untuk mengucapkan semua persoalan yang telah kupertimbangkan matang-matang. Untuk memberinya penegasan soal hubungan yang ada di antara kami.

Bahwa aku dan dia –kami –memang tidak ditakdirkan untuk saling mengenal dekat serta bersahabat seperti ini. Sejak awal, sejak hari pertama ia mendekatiku, aku tahu jika kami telah melakukan kesalahan besar.

Jadi, untuk melepaskannya dari hidupku yang kejam ini… kupikir itu lebih baik. Jong Hyun adalah orang yang baik. Tidak seharusnya ia terjebak dalam dunia yang kelam ini. Tidak semestinya ia terluka karena kesalahan yang bahkan tidak ia perbuat. Ia harus pergi menjauh. Jong Hyun harus –dan pasti –bisa melanjutkan hidupnya dengan lebih baik.

He deserves to be happy.

Satu tarikan napas panjang, kemudian aku pun mengucapkannya. Mengusir jauh-jauh seorang Lee Jong Hyun dari duniaku, dari hidupku, dan dari segalanya yang pernah berpusar di sekelilingku.

“Karena… karena kita memang tidak bisa seperti ini Jong Hyun-a. Sorry, but we are never meant to be each other friend.”

***

YAY! FINALLY! 2 MORE CHAPTER xDD

sorry for the very loooong time waiting for updating this fic *bows*
will update more often from now 😉
mind to leave a comment?

5 thoughts on “[8th Chapter] Vengeance

  1. kimsungrin

    akhirnya muncul juga part ini, lama bgt nungguinnya *jitak amer*
    wew udah mau abis ternyata. keren seperti biasa. cumanan coba pas jh sama ayahnya percakapannya dibikin memanas, memuncak baru ditembak #plak
    ditunggu lanjutannya dan jangan lama lama, ntar bulukan (?)

    Like

    • huahahahahahaha xDDD saya memang minta dijitak kak sepertinya /buangamerkerumahjonghyun/ :p
      iya nih, akhirnyaaaa~ tadinya sempet pesimis ini fic ga bakal pernah selesai .__.v untung idenya nongol lagi…
      lah kak meg tegaaa! itu aja aku nulis bagian jonghyun udah nyesek setengah mati, ini masih mau ditambahin sadisnya T T
      nggak lama deh kak lanjutannya, next week (insyaallah) udah bakal di publish kok 😉
      makasih kak meeeeg *sodorin jonghyun*

      Like

  2. jujur mer, aku juga lupa terakhir baca udah ampe mana /di kick balik sama amer/ xD

    Kependekkan mer -.- kok cepet banget ditembaknya, diapain dulu kek gitu *dibantai dan saya nggak ngerti kenapa abis jonghyun bilang maaf, langsung ditembak, kan awalnya bapaknya bilang terserah si jonghyun…

    Yakin! Cathy pasti bakal tetep sama jonghyun!

    Lanjut mer. Maap kalo komennya kurang gaje *loh?

    Like

    • Udah cukup geje kok, aku bingung sampe mau kasih reply macem apa /dibuang/

      Errr, mungkin karena bapaknya jonghyun itu geje kaya kamu + emosian kali, makanya asal tembak

      Anyway, seneng deh ada jonghyun-cathy shipper lagi xD

      Like

      • Tapi aku rasa gajeku nggak seperti biasa -____-” *jedotin diri ke tembok*
        Replynya jelas dong, yang gaje juga *dibuang

        Mungkin bapaknya udah rada-rada kayak kamu *dirajam

        Karna kalo yonghwa-Cathy kurang greget, nggak serasi xD

        Like

Leave a comment