[oneshot] Reverse

Standard

Reverse

Cast(s):

  • [EXO-K] Suho/Kim Joon Myeon
  • [OCs] Hwang Jae In

Genre: Romance, Angst, Tragedy, AU

Length: oneshot

Rating: PG-16

Author’s note: Sebenernya, ini adalah fanfic yang kukirim buat lomba di sebuah blog. Meskipun belum menang, tapi ini adalah fic yang berhasil bikin saya masuk list author favorit di blog itu 🙂

***

Rinai hujan turun membasahi bumi. Awan mendung berarak di atas langit malam kota Seoul, seolah tak ada habisnya. Genangan-genangan air mulai tercipta di atas lapisan semen dan beton, sementara angin dingin terus-menerus berhembus. Jalanan tampak lengang, tidak ada satu makhluk hidup pun yang berniat untuk bercengkerama dengan cuaca malam yang tidak bersahabat.

Namun, rupa-rupanya tidak semua orang memiliki jalan pikiran yang serupa. Nampak seorang pemuda berambut kecoklatan yang berjalan lambat-lambat di atas trotoar, sama sekali tidak mengacuhkan ujung sepatu putihnya yang mulai kotor akibat cipratan air hujan. Laki-laki itu berjalan tanpa memedulikan rasa dingin yang menerjang dan menusuk hingga ke seluruh persendian tulangnya. Rambut dan bajunya ia biarkan basah kuyup, seakan-akan hal itu bukanlah sesuatu yang penting.

Pemuda itu mendadak menghentikan langkah kakinya, kemudian mendongak menatap langit malam. Secara tidak kentara, bulir-bulir air mata mulai menuruni kedua pipi putihnya, bercampur dengan lebatnya rintik air hujan yang jatuh di atas wajahnya. Ia sakit. Ya, hatinya sakit dan terasa beku, seolah-olah seseorang telah menyiramkan seember penuh air es pada hatinya yang malang.

Kim Joon Myeon –nama laki-laki itu –menatap kosong ke jalanan remang-remang di hadapannya. Pikirannya berputar, gambaran-gambaran akan kejadian yang baru saja dilaluinya kembali bertebaran di benaknya. Bagaikan seribu pisau besi berkarat, setiap potongan dari ingatannya itu seakan telah menggores dan meninggalkan luka menganga di rongga dadanya. Benaknya serasa tak bisa lagi dikendalikan. Pikirannya tak lagi bekerja dengan semestinya. Tidak ketika emosi dan kesedihan sedang mengambil alih dirinya.

Gadisnya yang terbaring di dalam sebuah peti.

Isak tangis dimana-mana.

Dan aura kegelapan yang menaungi para pelayat dengan pakaian serba hitam.

Pemakaman.

Joon Myeon berusaha menelan lagi gumpalan air mata yang hendak menerobos keluar benteng pertahanannya. Menangis tidak akan menyelesaikan masalahnya dan tidak akan pula membawa gadisnya kembali ke dalam dekapannya. Ia tahu, bahwa dunia ini tidaklah adil. This world isn’t kind to anyone. Baru kali ini ia memahami frasa itu, lebih daripada sebelumnya. Kehilangan telah membuka matanya, membuatnya menyadari seberapa lemah dirinya kini.

Mata pemuda itu menerawang, kembali teringat akan saat-saat terakhir sebelum sang gadis pergi untuk selamanya. Joon Myeon masih ingat perasaan senang itu, ketika ia melangkahkan kakinya ringan sembari menenteng sekotak chocolate cake kesukaan gadisnya. Sudah terlampau lama mereka tidak bertemu dan di hari itu, bertepatan dengan hari jadi mereka yang pertama, Joon Myeon sudah berjanji akan meluangkan waktunya.

Janji yang tidak pernah dan tidak akan bisa ia tepati.

Dering ponsel milik Joon Myeon adalah awal dari semua kekacauan ini. Suara terbata-bata dan isak tangis milik orangtua dari kekasihnya masih terngiang jelas di telinganya. Seberapapun keras ia berusaha melupakannya, suara itu malah kembali bergaung dalam pikirannya, menolak untuk pergi.

“Kau dimana Joon Myeon-a? Jae… Jae In kecelakaan… bi…bisakah, ka.. kau… kemari?”

Detik itu juga, Joon Myeon bisa merasakan seluruh tubuhnya melemas. Seakan semua tulang dan otot yang menyangga tubuhnya raib begitu saja, ia hanya terpaku di tempatnya berdiri. Otaknya terasa hampa. Ia bahkan tidak ingat bagaimana caranya ia bisa sampai ke depan pintu ruang gawat darurat, tempat dimana kekasihnya tergeletak tak berdaya.

Namun ia terlambat.

Belum sempat ia mengeluarkan suara barang sedikitpun, Joon Myeon bisa merasakan tubuh renta Nyonya Hwang –ibu kekasihnya –memeluknya erat sembari menangis tersedu. Samar-samar, pemuda itu bisa menangkap kata-kata ‘pergi’ dan ‘meninggal’, membuatnya ikut menitikkan air mata.

Seandainya saja Joon Myeon tidak mengajak sang gadis untuk bertemu dengannya pada hari itu. Seandainya saja ia memiliki cukup waktu luang untuk menjemput gadisnya, alih-alih membiarkannya berangkat sendiri. Dan seandainya saja ia berada di samping gadis itu, ia pasti akan langsung melompat untuk menyelamatkannya.

Berpuluh-puluh kata seandainya bermunculan di benak Joon Myeon, melipatgandakan perasaan bersalah pemuda itu. Bahkan sampai detik ini pun, ketika pemakaman sudah usai, ia masih diliputi perasaan bersalah itu.

Ini semua salahnya! Hwang Jae In meninggal karena kesalahan seorang Kim Joon Myeon!

Joon Myeon tahu itu dan sampai kapanpun juga, ia tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.

Tidak sebelum ia menebus semua kesalahannya.

***

Kalau kau mempunyai satu kesempatan, satu saja kesempatan untuk memutarbalikkan waktu, akankah kau menerimanya?

Joon Myeon mengerjapkan matanya, berusaha melihat menembus cahaya terang di depan sana. Ia berdiri seorang diri di sebuah padang rumput yang kosong tak berujung. Pemuda itu menatap ke sekelilingnya dengan bingung, mencari-cari asal suara.

Kalau kau benar-benar menyesal… dan kalau kau yakin bahwa memutarbalikkan waktu akan mengubah segalanya menjadi lebih baik…

“Ya! Aku menyesal! Dan aku akan mengubah semuanya menjadi lebih baik!”

Apa kau yakin?

“Apa maksudmu? Tentu saja aku yakin!” seru Joon Myeon penuh tekad. “Aku akan memberikan segala yang kumiliki agar aku bisa bertemu dengannya lagi! Jae In-a… masih terlampau banyak hal yang belum kita lakukan bersama!”

Baiklah. Permintaanmu sudah terkabul. Waktu akan berputar, dan kuharap kau tidak menyia-nyiakan masa lalu untuk yang kedua kalinya…

“Tunggu! Siapa kau? Aku…”

Semoga beruntung Kim Joon Myeon. Dan satu hal lagi…

Joon Myeon menggelengkan kepalanya dengan bingung. Padang rumput tempatnya berpijak mendadak bergoncang, dunianya serasa dijungkirbalikkan. Ia tidak mengerti… suara-suara itu, apakah mereka benar-benar nyata? Joon Myeon hanya bisa merasakan kepalanya berputar semakin kencang dan pandangannya mulai mengabur. Dan tepat ketika kegelapan yang pekat mulai menelan segalanya, suara itu pun kembali terdengar.

Ingatlah Kim Joon Myeon… selalu ada hal yang tidak akan pernah kembali, tidak peduli seberapa besar atau seberapa keras kau berusaha untuk mendapatkannya.

***

Kriiing!!

Jam weker berdering keras tanpa ampun, membuat sang pemilik berguling di atas kasur sembari memendam kepalanya ke dalam bantal-bantal yang ada. Ia menjulurkan tangannya untuk mematikan jam itu, kemudian mendesah panjang saat ketenangan kembali menyelimutinya. Pikirannya serasa buram dan masih belum dapat bekerja dengan baik. Batas antara mimpi dan realita tampaknya mulai mengabur.

Malas-malasan, Joon Myeon berusaha untuk mendudukkan dirinya sendiri. Aneh, pagi ini ia seperti orang yang baru saja mengalami jet lag. Ia kehilangan orientasinya akan waktu. Joon Myeon sama sekali tidak bisa mengingat tanggal hari ini, bahkan ia hampir saja melupakan bulan apa sekarang. Pemuda itu menyambar ponselnya dan membaca tanggal yang tertera disana.

August, 1st 2012.

Tapi… kenapa ia merasa bahwa dirinya sudah pernah melewati hari ini sebelumnya? Itu tidak masuk akal, bukan?

Marhaejwo naege what is love…

Joon Myeon mengerutkan keningnya, membaca nama yang tertera di layar ponsel. My lovely Jae In. Kekasihnya.

Lagi-lagi ia merasa ada sesuatu yang janggal. Seakan-akan ia telah berpisah dengan kekasihnya untuk waktu yang sangat lama. Seolah mereka sudah terpisahkan dan tidak akan mungkin bertemu lagi.

Ponsel dalam genggamannya kembali bergetar, membuyarkan semua pikirannya. Tanpa merasa ragu sedikit pun, ia menekan tombol answer dan mendekatkan ponsel itu ke telinganya. Suara riang Jae In langsung saja terdengar dari sana, menghapus segala kegelisahan dalam diri Joon Myeon.

“Selamat pagi, Oppa! Aku tidak menyangka kau sudah bangun. Ada apa dengan Oppa-ku yang pemalas ini?”

Joon Myeon tersenyum simpul, hanya membalas candaan dari Jae In dengan gumaman pelan.

Oppa! Kau jadi pergi bersamaku kan hari ini? Kemarin kau sudah berjanji, iya kan?”

“Ah… hari ini…” Joon Myeon mengalihkan pandangannya ke arah kalender yang terpajang di samping tempat tidurnya. Hari ini, ia ada janji dengan salah satu temannya untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah. Joon Myeon tahu bahwa ia tidak bisa membatalkan janji itu. Nilai kuliahnya saat ini sedang dipertaruhkan.

Mian, Jae In-a, aku…”

kuharap kau tidak menyia-nyiakan masa lalu untuk yang kedua kalinya…

Joon Myeon tersentak saat kata-kata itu kembali muncul di benaknya untuk yang kedua kalinya. Masa lalu? Apakah saat ini waktu sedang berbaik hati pada dirinya? Jadi semua kejadian bagaikan mimpi itu nyata? Inikah yang dinamakan kesempatan kedua itu?

Oppa? Oppa sibuk?”

“Sibuk? Tidak… tidak! Aku akan segera menjemputmu. Setengah jam lagi, oke?” buru-buru Joon Myeon meralat ucapannya tadi. Ia tidak ingin menyesal untuk yang kedua kalinya. Ia sudah berjanji, ia tidak akan menyia-nyiakan waktu yang ia miliki lagi.

Joon Myeon menghela napas lega, kemudian memutuskan sambungan telepon dan bergegas untuk bersiap-siap. Pikirannya sudah mulai bekerja kembali. Kini, ia bisa mengingat-ingat dengan yakin akan semua kejadian yang sudah menimpa dirinya. Joon Myeon juga yakin, bahwa saat ini, dirinya sedang terlempar kembali ke masa lalu. Permintaannya saat itu telah dikabulkan.

Hari ini, tanggal 1 Agustus 2012. Hwang Jae In meninggal pada tanggal 4 Agustus 2012. Itu berarti, ia memiliki waktu 3 hari untuk menghabiskan waktunya bersama Jae In. Tiga hari penuh untuk memperbaiki semua kesalahannya dan membahagiakan Jae In. Tiga hari penuh untuknya memikirkan suatu cara, suatu jalan untuk menyelamatkan nyawa Jae In dari kecelakaan itu.

Joon Myeon tahu bahwa ini salah. Melawan takdir bukanlah suatu hal yang akan membuahkan suatu kebaikan. Tetapi, bukankah ia sudah bersedia dan berjanji? Ia rela menyerahkan semua yang ia punya hanya untuk gadisnya, gadis yang ia cintai.

Meskipun jika hal yang harus ia serahkan itu adalah nyawanya sendiri.

***

“Kau sakit ya, Oppa?”

“Huh? Tidak. Memangnya kenapa?” Joon Myeon balik bertanya sembari memandang wajah Jae In. Mereka berdua sedang duduk bersandar di sebuah kursi taman sembari menikmati es krim yang baru saja mereka beli.

“Biasanya, Oppa kan lebih memilih untuk bercengkerama dengan apapun yang menjadi kesibukan Oppa daripada denganku. Entah itu tugas kuliah, pekerjaan paruh waktu, atau malah teman-teman Oppa sendiri…”

Joon Myeon menatap Jae In, pancaran rasa bersalah tampak di matanya. “Aku… bukan pacar yang baik, ya?”

“Hmm? Tidak! Maksudku bukan begitu, Joon Myeon Oppa…”

Gwenchanha, aku tahu bahwa aku memang bukan laki-laki yang baik, tetapi Jae In-a…”

“Ya?”

“Aku mencintaimu. Walaupun setiap detiknya aku merasa tidak pantas berada di sampingmu, walaupun aku sering mengabaikanmu karena hal lain, tetapi ketahuilah bahwa aku akan selalu menyayangimu.”

Jae In menatap Joon Myeon, wajahnya mulai merona merah. Jarang sekali ia mendengar Joon Myeon berbicara seperti itu. Di mata Jae In, seorang Kim Joon Myeon bukanlah lelaki yang romantis maupun mudah mengungkapkan perasaannya seperti ini. Hubungan mereka pun datar-datar saja. Bisa dibilang, orang lain lebih sering mengira mereka sebagai sepasang sahabat dekat alih-alih sepasang kekasih.

“Hal itu… aku sudah tahu. Aku selalu tahu apa isi hati Oppa. Tapi…” Jae In terdiam sejenak, menggantungkan kata-katanya dengan ragu. Entah kenapa perasaan was-was mulai melingkupinya. Sikap Joon Myeon yang tidak biasa telah membuatnya takut.

Oppa benar-benar tidak apa-apa kan? Joon Myeon Oppa, kau berubah, kau tahu?”

Joon Myeon menggeleng pelan, menatap es krim yang mulai meleleh di tangannya sembari memikirkan sebuah alasan yang tepat. Tidak mungkin kan jika ia berkata,”Jae In-a, tiga hari lagi kau akan meninggal karena kecelakaan.” Gadis itu pasti akan menyangka bahwa ia sudah tidak waras.

Oppa?”

“Aku hanya ingin berubah menjadi lebih baik. Tidak boleh?”

“Bukannya tidak boleh, hanya saja…”

“Aku tidak punya maksud apapun dibalik perubahan sikapku,” gumam Joon Myeon sembari menghindari tatapan mata Jae In. Bohong, itu adalah sebuah kebohongan besar. “Aku hanya ingin bersikap seperti yang lain, layaknya laki-laki yang sudah memiliki seseorang yang berharga dalam hidupnya…”

“Terima kasih.”

“Eh?”

“Aku menyukaimu apa adanya. Kim Joon Myeon yang cuek, pendiam, dan tidak romantis,” gurau Jae In diiringi tawa kecilnya. “Seharusnya, kau tidak perlu repot-repot berubah untukku. Tetapi, karena kau sudah terlanjur melakukannya… aku… aku..”

“Jangan katakan kalau kau menyesal,” protes Joon Myeon, berpura-pura kesal.

“Tidak! Aku bahagia, Oppa. Itulah sebabnya aku berterima kasih.”

Joon Myeon melemparkan seulas senyum, yang dibalas dengan tak kalah lebarnya oleh Jae In. Ia tahu, bahwa ia tidak akan menyesali keputusan yang sudah ia buat. Memutar balik waktu dan mengubah sikapnya, tampaknya membawa sebuah kebahagiaan ke dalam hubungan mereka berdua.

Setidaknya, hingga saat ini, semuanya berjalan sesuai dengan apa yang telah direncanakan oleh Joon Myeon.

***

Kedua manik mata kecoklatan milik gadis itu terus bergerak, mengamati tingkah tak wajar sang kekasih. Tingkah aneh itu sudah terlihat sejak tadi pagi ketika ia mendapati lelaki yang amat disayanginya itu sudah berdiri di depan pintu apartemennya, siap menjemput Jae In. Entah roh macam apa yang telah merasuki diri seorang Kim Joon Myeon, Jae In sendiri juga tidak tahu. Yang Jae In tahu, sebelumnya lelaki itu tidak pernah mau repot-repot menjemputnya karena sibuk.

Oppa?”

Jae In berjalan menghampiri Joon Myeon yang sedang menatap kalender meja milik Jae In lekat-lekat. Sudah beberapa menit berlalu, namun lelaki itu hanya diam saja, tenggelam dalam kesibukannya mengamati selembar kertas bertuliskan nama-nama hari dan angka. Jae In tidak mengerti dimana letak keistimewaan kalender itu. Itu hanyalah sebuah benda penunjuk hari dan tanggal biasa, sama seperti yang semua orang miliki.

“Mmm… kau mau berangkat kuliah sekarang?” balas Joon Myeon dalam gumaman pelan, masih dengan kedua bola matanya yang terpancang pada lembaran kertas di hadapannya.

“Apa sih menariknya kalender itu?” gerutu Jae In kesal. Gadis itu lantas melongokkan kepalanya dari balik pundak Joon Myeon, berusaha melihat apa yang sedang diamati oleh kekasihnya itu.

Mata Jae In langsung terarah pada angka empat yang tertera di atas kertas itu, tampak lebih mencolok jika dibandingkan dengan angka-angka lainnya. Gadis itulah yang telah menghiasnya, menambahkan beberapa warna kesukaannya untuk menandai hari penting itu. Hari jadi mereka.

“Hmmm, Oppa memikirkan hari esok?”

“Begitulah…” sahut Joon Myeon dengan pandangan menerawang. Berkebalikan dengan ekspresi Joon Myeon yang tampak kosong dan lemas itu, Jae In malah memasang senyum ceria di wajahnya.

“Aku tahu kalau besok adalah hari yang penting… tapi, Oppa tidak perlu terlalu memikirkannya! Apapun yang akan Oppa lakukan, aku tidak akan marah ataupun kecewa! Jadi, Oppa tenang saja!”

Joon Myeon mengulum senyum kecil tatkala mendengar ucapan polos kekasihnya itu. Ia mengulurkan sebelah tangannya, mengacak lembut rambut Jae In. Ia selalu suka melakukan hal itu, salah satu caranya untuk menyalurkan rasa sayangnya pada sang gadis.

“Jae In-aOppa punya permintaan… kau mau mengabulkannya?”

“Permintaan? Oppa pikir aku ini semacam jin pengabul permintaan?” canda Jae In. Joon Myeon memutar kedua bola matanya, kemudian balas menatap mata Jae In dalam tanpa sedikit pun aura humor di wajahnya.

“Baiklah… baiklah. Apa permintaan Oppa?”

“Mau membolos kuliah hari ini?”

“Eh?”

Joon Myeon melirik Jae In yang masih tampak terkejut akan permintaannya itu. Ia membalikkan badannya, kemudian mencondongkan tubuh sehingga wajah mereka berdekatan.

“Bomun Lake. Aku ingin kesana.”

Jae In membelalakkan matanya tidak percaya, kaget bahwa Joon Myeon akan mengajaknya ke tempat itu. Sejak awal mereka berpacaran, Joon Myeon selalu berkata bahwa impiannya adalah mengajak gadis yang ia cintai menghabiskan waktu bersama sembari menikmati pemandangan Bomun Lake.

“Baiklah,” desah Jae In perlahan. Ia tahu bahwa ia tidak akan mampu menolak permintaan Joon Myeon. Detik ketika Joon Myeon mengungkapkan impiannya itu adalah saat dimana Jae In sendiri mulai memiliki mimpi yang sama. Menyaksikan keindahan Bomun Lake dan berjalan-jalan di bawah rindangnya pohon-pohon. Menatap matahari terbenam dari sela-sela cabang dan ranting pepohonan yang ada, sembari berbaring di atas rumput hijau nan lembut. Dan yang lebih penting lagi, ia akan merasakan semua itu hanya bersama dengan Joon Myeon seorang.

Jae In tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Seandainya saja ia bisa, ia akan memilih untuk menghentikan waktu dan menghabiskan sisa hidupnya dengan lelaki bernama Kim Joon Myeon ini.

Seandainya saja, ia memiliki kuasa atas hal itu.

***

Semburat kemerahan menghiasi langit senja, pendar-pendar matahari sedikit menyilaukan pandangan mereka. Kedua sejoli itu berbaring di atas rumput hijau, di bawah rindangnya pepohonan yang menciptakan bayang-bayang teduh bagi mereka. Udara sore ini terasa hangat, aura ringan dan santai melingkupi keduanya.

Joon Myeon menolehkan kepalanya, menatap sosok Jae In yang berbaring di sebelahnya. Mata gadis itu terpejam, tampaknya ia sedang menikmati segala melodi alam yang dapat ditangkap oleh indra pendengarannya. Jemari Joon Myeon terulur dan mulai mencari-cari kepunyaan Jae In, sebelum akhirnya keduanya saling bertautan lembut. Jae In sontak membuka matanya, mengarahkan iris berwarna dark brown itu ke arah Joon Myeon.

Oppa…

Joon Myeon membalas tatapan itu sekilas, kemudian menghela napas perlahan. Saat ini, hal yang paling diinginkannya adalah mengingat setiap detail terkecil dari momen milik mereka berdua itu. Tidak ada yang tahu bagaimana hari esok akan berjalan, bagaimana takdir akan lebih memilih untuk merenggut nyawa Jae In sekali lagi atau membiarkan gadis itu selamat.

Bukan berarti Joon Myeon tidak memiliki rencana. Ia sudah memikirkannya semalaman, memikirkan hal yang mungkin masih bisa ia perbuat. Mungkin.

Pilihan pertama, ia akan menyelamatkan nyawa Jae In dan mereka berdua bisa kembali hidup bahagia. Tidak ada yang perlu dikorbankan dalam pilihan ini. Tetapi, tidakkah itu terlalu mudah? Meskipun Joon Myeon menginginkan agar pilihan inilah yang terwujud, ia tidak sedangkal itu. Mengubah takdir membutuhkan pengorbanan, dan rasa-rasanya, cengkeraman tangan kematian tidak akan semudah itu membiarkan mereka lolos.

Pilihan kedua, mereka akan meninggal bersama-sama dalam kecelakaan itu. Tidak jauh berbeda dari pilihan pertama, setidaknya mereka akan terus bersama bukan? Ya, bersama dalam kematian. Hanya saja di pilihan kedua ini, Joon Myeon tidak bisa menjamin apakah mereka akan bertemu lagi di dunia yang lain atau tidak. Tidak ada seorang pun yang tahu apa yang menunggu mereka setelah nyawa kita terpisah dari raga. Pilihan kedua ini hanya menghasilkan sebuah ketidakpastian.

Maka, Joon Myeon pun menilik pada pilihan terakhirnya. Menyerahkan nyawanya sebagai ganti nyawa Jae In. Gila memang, tetapi ia sama sekali tidak berkeberatan. Setidaknya ia bisa menghapuskan rasa bersalahnya dan Jae In bisa tetap hidup. Satu-satunya ketakutan yang ia miliki adalah bagaimana reaksi Jae In nantinya. Ia tidak takut mati, tetapi ia takut dan khawatir akan bagaimana keadaan sang kekasih nanti setelah ia pergi.

Joon Myeon menggelengkan kepalanya, berusaha untuk tidak memikirkan hal itu. Apapun yang akan terjadi esok hari, ia akan menghadapinya. Ia akan memastikan bahwa Jae In selamat dan ia juga tidak akan menyesali keputusannya. Namun saat ini, Joon Myeon perlu melakukan satu hal terakhir untuk seorang Hwang Jae In.

Mengucapkan selamat tinggal.

***

“Aku senang, akhirnya impian kita ini bisa terwujud,” gumam Joon Myeon dengan suara serak. Ia berdeham sekali, menghilangkan seberkas kesedihan dalam nada suaranya. Joon Myeon tidak mau membuat Jae In cemas. Perpisahan yang akan ia sampaikan ini hanyalah sekadar berjaga-jaga saja. Lagipula, perpisahan itu tidak seharusnya dipenuhi isak tangis bukan? Joon Myeon ingin membuat sesuatu yang berkesan, sesuatu yang akan terpatri selamanya dalam benak mereka.

“Aku tidak menyangka kau akan segila ini,” tambah Jae In sembari tertawa renyah. “Kau menyuruhku bolos kuliah dan membawaku kabur ke Bomun Lake hanya demi impianmu itu.”

Joon Myeon membalas ucapan Jae In dengan cengiran kecil, matanya memandang sepasang kakek-nenek yang masih tampak romantis meskipun usia mereka tak lagi muda. Jae In yang tampaknya menyadari hal itu, mengikuti arah pandang Joon Myeon dan mendesah pelan.

“Aku iri,” ungkap Jae In jujur.

“Untuk?”

“Kau tahu… kupikir kau merasakan hal yang sama denganku. Ketika kau mengamati mereka tadi, apa yang kaupikirkan?”

Joon Myeon tahu bahwa yang dimaksud Jae In dengan ‘mereka’ adalah sepasang suami-istri berusia lanjut tadi. Dan gadis itu benar. Ia memang sedang memikirkan hal yang sama dengan Jae In.

“Aku ingin tahu, apa yang akan terjadi dengan kita setahun lagi? Sepuluh tahun lagi? Atau mungkin lima puluh tahun lagi, ketika kita sudah setua itu?” ucap Joon Myeon akhirnya.

“Mungkin kita akan seperti mereka, hidup bersama hingga tua,” balas Jae In cepat sambil terkikik kecil. Joon Myeon menoleh cepat, menatap sepasang mata yang kini dipenuhi binar kebahagiaan itu.

“Tidak ada yang bisa menjamin itu, Jae In-a…”

Jawaban Joon Myeon itu membuat Jae In tersentak kaget. Ia menarik jari-jarinya dari genggaman Joon Myeon, kemudian mendudukkan dirinya dengan kasar di atas rumput.

Oppa bermaksud pergi meninggalkanku?”

Joon Myeon menggeleng cepat, matanya dengan awas menatap sudut-sudut mata Jae In dimana air mata gadis itu mulai mengancam untuk turun.

“Kalau begitu, kenapa? Oppa tidak percaya dengan hubungan kita?”

“Bukan begitu Jae In-a… ini lebih rumit dari yang kau bayangkan…” desah Joon Myeon sambil ikut bangkit dari posisi berbaringnya. Ia meletakkan kedua tangannya di pundak Jae In dan menepuk-nepuk gadis itu lembut. Membuat Jae In merasa tenang dan terlindungi.

“Lalu, kenapa?”

“Tidak ada hal yang pasti di dunia ini, kau tahu itu. Waktu terus bergulir dan dunia akan terus berubah. Begitu pula dengan kita, dan ribuan orang lainnya di permukaan bumi ini. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari, setahun kedepan, atau mungkin sepuluh tahun lagi. Bahkan, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi satu menit lagi, bukan?”

Jae In menunduk, menyembunyikan wajahnya dari pandangan Joon Myeon. Kata-kata Joon Myeon itu mengandung kebenaran yang tak bisa ditolaknya, dan entah kenapa, hal itu membuat hatinya terasa sesak dan sakit.

“Maksud Oppa, waktulah yang akan memisahkan kita?”

“Ya, dan hal yang sama juga berlaku untuk semua orang di dunia ini,” balas Joon Myeon tenang. Joon Myeon hanya ingin membuat gadisnya mengerti, menyiapkan gadisnya akan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi esok hari.

“Jae In-a, tatap aku,” pinta Joon Myeon lembut. Ia meraih dagu gadis itu, mengangkatnya perlahan dan menyibakkan anak-anak rambut yang menghalangi wajah Jae In.

“Aku tidak mau memberikan harapan yang terlalu tinggi bagimu, kemudian menghempaskanmu jatuh di kemudian hari. Aku tidak akan menjanjikan apapun untukmu, karena aku takut jika suatu saat nanti aku tidak akan bisa memenuhinya. Tidak ada hal yang abadi di dunia ini, begitu pula halnya dengan hubungan di antara kita berdua. Tetapi Jae In-a…” Joon Myeon mengambil jeda sejenak dan menghirup napas dalam-dalam sebelum ia melanjutkan kalimatnya.

“Satu hal yang perlu kauketahui, satu kepastian yang bisa kau dapatkan dariku adalah bahwa aku mencintaimu. Aku telah memberikan hatiku, sejak hari dimana aku mengungkapkan perasaanku padamu. Aku mencintaimu sejak saat itu, sedetik yang lalu, dan juga pada saat ini. Dan selama waktu masih terus berjalan, selama darahku mengalir dan jantungku berdegup, selama itulah aku selalu berusaha untuk menyayangimu.”

“Joon Myeon Oppa…”

“Aku belum selesai berbicara,” Joon Myeon mengingatkan sembari meletakkan telunjuknya di bibir Jae In, membuat gadis itu bungkam seketika.

“Hwang Jae In, aku telah memberikan cintaku padamu sepanjang hari ini. Esok, aku pun akan mengatakan hal yang sama. Begitu pula dengan lusa, dan hari-hari berikutnya. Jikalau sang waktu dan ikatan takdir mengijinkan, maka aku akan terus mengatakan hal itu. Bahwa aku, Kim Joon Myeon, tidak pernah menyesali sedetikpun waktu yang kulewati bersamamu.”

Joon Myeon mengulurkan jemarinya, meraba wajah Jae In lembut. Lelaki itu beringsut mendekat, membuang jauh-jauh jarak yang sebelumnya ada di antara mereka. Bibir Joon Myeon perlahan menempel di sudut mata Jae In, menghapus air mata yang sebelumnya berada di sana.

“Jangan menangis, Jae In-a… jangan pernah menangis… menangis hanya akan membuatku berpikir bahwa kau menyesali waktu yang telah kau habiskan bersama denganku,” gumam Joon Myeon perlahan. Jae In mengangguk patuh, sementara bibir lelaki itu kini turun dan menelusuri pipinya, meninggalkan jejak kehangatan di atas kulit Jae In.

Joon Myeon menarik dirinya –sedikit –agar bisa memandang wajah Jae In lekat-lekat. Hitam bertemu dengan coklat tua. Mereka tenggelam dalam tatapan penuh sayang yang dipancarkan kedua mata mereka, menghayati setiap keheningan yang ada.

“Kim Joon Myeon, saranghae,” bisik Jae In lembut sebelum bibir keduanya bertemu.

Mereka terhanyut, saling merasakan kelembutan milik satu sama lain. Mereka menarik napas bersama, berusaha menyelaraskan irama mereka dalam menghirup sumber kehidupan. Joon Myeon mengulurkan lengannya, melingkarkannya di pinggang Jae In, dan menarik gadis itu semakin dekat. Ia berusaha memerdalam ciuman mereka, yang segera disambut Jae In dengan senang hati. Rasa hangat dan nyaman mengalir dalam tubuh mereka, membuat mereka enggan untuk saling melepaskan diri.

Detik demi detik berlalu, hingga Joon Myeon akhirnya menarik diri untuk yang kedua kali, kemudian menangkup wajah Jae In dalam kedua tangannya.

“Terima kasih… untuk segalanya.”

Dan juga jika takdir tidak mengijinkan… selamat tinggal, Jae In-a…

Jae In mengangguk dan merasakan sebuah kecupan mendarat di atas bibirnya, lagi. Kali ini, Joon Myeon mencurahkan segala perasaan dan kecemasannya. Mengunci segala kenangan yang ia miliki rapat-rapat dalam ingatannya, serta memastikan bahwa memori itu akan tetap hidup meskipun nantinya mereka akan berpisah.

***

Joon Myeon meraba dadanya perlahan, merasakan jantungnya berdetak begitu cepat. Belum pernah ia merasa segugup dan sekhawatir ini. Layaknya tersesat di sebuah jalan tak berujung tanpa ada penunjuk arah yang mampu menyelamatkannya, begitulah perasaan Joon Myeon sekarang.

Hari ini, 4 Agustus 2012. Pukul sepuluh tepat. Beberapa menit sebelum kecelakaan itu berlangsung.

Joon Myeon masih ingat, hari dimana ia menerima telepon dari orangtua Jae In. Mereka berkata bahwa Jae In tertabrak mobil saat menyeberang di kawasan Myeongdong. Orangtua Jae In meneleponnya pada pukul setengah sebelas. Itu artinya kecelakaan yang menimpa Jae In akan terjadi antara pukul sepuluh hingga setengah sebelas siang.

Sebentar lagi… hanya sebentar lagi sebelum aku menemukan jawaban atas pilihan yang kubuat, gumam Joon Myeon sembari menatap Jae In yang berjalan riang menghampirinya. Gadis itu tak tahu apa-apa.

Oppa! Sedang apa di daerah ini? Tidak biasanya kau menjemputku seperti ini bukan?” kicauan riang Jae In menerpa telinganya. Gadis itu bergelayut manja pada lengannya, membuat Joon Myeon semakin tidak rela untuk menghadapi takdir.

“Sudah kukatakan, aku ingin berubah Jae In-a…”

“Tetapi… bukannya Oppa ada shift kerja, ya? Seingatku, shift kerja paruh waktu kita memiliki waktu yang hampir sama, iya kan?”

“Err… aku baru saja mengubah jadwalku kemarin. Jadi, aku bisa bebas menjemputmu setelah pulang kerja…” ucap Joon Myeon asal-asalan. Kenyataannya adalah ia sudah mengundurkan diri dari pekerjaan paruh waktunya itu. Sekadar berjaga-jaga, begitu pikir Joon Myeon saat mengambil keputusan itu.

Jae In membulatkan mulutnya, tidak sedikitpun menyimpan rasa curiga pada gelagat aneh Joon Myeon. Ia menarik tangan Joon Myeon, mengajaknya untuk berjalan-jalan mengelilingi area tersebut.

“Kalau begitu, Oppa tidak sibuk kan? Kemarin aku melihat sebuah café yang tampak enak di dekat sini! Bagaimana kalau kita…”

“AWAS!!”

Joon Myeon tersentak saat mendengar teriakan itu, melihat seorang laki-laki berusia paruh baya menunjuk ke arah jalanan dengan wajah panik. Tampak Jae In yang sudah berjalan beberapa langkah di depannya –tidak menyadari bahwa Joon Myeon tertinggal di belakangnya –berdiri di tepi jalan raya dan siap untuk menyeberang. Joon Myeon menoleh dan melihat sebuah motor sport yang berukuran cukup besar sedang mengebut gila-gilaan di sepanjang jalan itu.

“JAE IN! MINGGIR!!” teriak Joon Myeon tak kalah paniknya. Ia berlari menembus kerumunan, menarik tangan Jae In dan mendekap tubuh gadis itu erat-erat.

Detik demi detik berlalu, tetapi Joon Myeon tidak kunjung merasakan adanya sesuatu yang berubah dalam dirinya. Tidak ada suara tabrakan, tidak ada luka-luka yang menghiasi tubuhnya. Ia masih berdiri di sana, memeluk Jae In erat-erat, tanpa kekurangan suatu apapun.

Oppa… aku tidak apa-apa… motor itu hanya lewat di hadapanku saja, kok,” gumam Jae In malu. Saat ini, mereka sedang menjadi pusat perhatian dari semua pejalan kaki yang melintas di daerah itu.

Joon Myeon melepaskan dekapannya, matanya menatap Jae In dengan cemas. “Kau sungguh… sungguh baik-baik saja?”

“Tentu saja! Oppa, kau ini berlebihan…”

“BODOH! Siapa yang kau sebut berlebihan, hah? Aku sangat mencemaskanmu, Hwang Jae In!” bentak Joon Myeon keras. Ia lega, sangat lega saat melihat mereka berdua selamat. Tanpa sadar, ia meluapkan semua emosinya pada gadis itu.

Jae In-a, kau tak tahu betapa senangnya aku saat melihat kita berdua selamat dari cengkeraman kematian…

“Maaf… aku hanya…” sontak Jae In menundukkan kepalanya ketika melihat amarah Joon Myeon. Perasaan takut dan bersalah melingkupinya.

“Jangan pernah membuatku cemas lagi…”

Jae In mengangguk dalam diam. Baru kali ini ia melihat Joon Myeon semarah itu, bahkan hingga membentak dirinya seperti itu.

Joon Myeon menarik napas panjang, berusaha menyurutkan emosi yang melandanya. Ia mengulurkan tangannya, mengenggam jemari Jae In erat-erat.

“Maaf kalau aku memarahimu sedemikian rupa… kita lanjutkan acara jalan-jalannya?” tawar Joon Myeon lembut. Gadis itu mengangguk lagi, menyambut uluran tangan Joon Myeon. Mereka berjalan lambat-lambat, mengamati setiap pertokoan yang terbentang di sepanjang jalan.

Seulas senyum mulai terkembang di bibir Joon Myeon. Ia tidak menyangka bahwa rencana pertamanya-lah yang akhirnya menjadi kenyataan. Jadi, inikah yang terjadi ketika kau mengubah takdir? Pertanyaan itu terus bergema dalam benaknya. Sedikit banyak, ia belum benar-benar yakin bahwa mereka telah selamat tanpa ada yang harus dikorbankan. Sebaik inikah nasib mereka?

Oppa, itu café yang kubicarakan tadi!” pekik Jae In girang. Telunjuknya mengarah pada sebuah café bergaya Perancis, dengan interior yang didominasi warna-warna pastel.

Manik mata Joon Myeon mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Jae In, kemudian laki-laki itu mulai memamerkan senyum menawannya. Ia tidak boleh membuat Jae In merasa sedih atau cemas. Mereka selamat dari kecelakaan itu, bukan? Saat ini mereka masih hidup, dan tidak semestinya ia terus-menerus merasa was-was akan hal yang sudah mereka lewati.

“Ayo, kita kesana!”

Joon Myeon menarik gadis di sampingnya dengan penuh semangat, membimbingnya untuk menyeberang jalan. Mereka sedang menunggu lampu tanda pejalan kaki berubah menjadi hijau –tanda bagi mereka untuk mulai menyeberang –ketika suara teriakan-teriakan histeris itu kembali terdengar di sekitar mereka.

“Anak itu bisa tertabrak!”

“Kemana sih orangtuanya, tidak bertanggung jawab sekali!”

Awalnya, Joon Myeon tidak begitu memedulikan hal tersebut. Ia dan Jae In baru saja melewati sebuah marabahaya, hal itulah yang terpenting baginya. Terdengar egois, memang. Tetapi, bukankah manusia adalah makhluk yang selalu hidup di atas ego mereka masing-masing?

Namun, lama-kelamaan teriakan para warga itu pun mengusik benak Joon Myeon. Ia menoleh, hendak bertanya pada kekasihnya mengenai hal yang sedang diributkan oleh para pejalan kaki lainnya.

“Jae In-a…

Kosong.

Joon Myeon menoleh kesana kemari, mencari-cari sosok mungil Jae In yang mendadak lenyap dari sisinya. Aneh, beberapa detik yang lalu gadis itu masih berada di sana, bukan?

Perasaan dingin mulai merambati tengkuk Joon Myeon. Rasa khawatir yang telah ditepisnya jauh-jauh kembali merayapinya, membuatnya dilanda kepanikan.

“Jae In… Jae In-a…

Dan Joon Myeon pun melihatnya. Jae In yang sedang berjalan menyeberangi jalan tanpa menunggu lampu pejalan kaki berubah menjadi hijau. Apa gadis itu sudah gila? Joon Myeon membatin keras. Ia meradang. Peringatannya tadi rupanya tidak diindahkan oleh gadisnya.

Manik mata Joon Myeon mengikuti pergerakan Jae In. Sesekali, gadis itu harus berhenti agar tidak tertabrak oleh kendaraan yang berlalu-lalang. Rupanya, Jae In sedang berusaha menyelamatkan seorang bocah laki-laki yang tampak kebingungan di tengah jalan raya nan ramai itu. Anak yang dibicarakan oleh para pejalan kaki lainnya beberapa saat yang lalu.

Joon Myeon menyaksikan gadisnya meraih tangan mungil sang bocah, berusaha mengajaknya menepi dengan susah payah. Merasa cemas menyaksikan pemandangan itu, Joon Myeon pun ikut menerobos ramainya lalu lintas, berusaha mendekati Jae In dan si bocah kecil yang terjebak di tengah padatnya kendaraan yang terus berjalan melewati mereka.

Sedikit lagi… sedikit lagi…

“NONA, AWAS!!!”

Joon Myeon nyaris saja melompat terkejut mendengar seruan itu. Seruan bernada sama yang ia dengar untuk kedua kalinya hari ini. Tampak setengah meter di hadapannya, Jae In yang berdiri membeku di tengah jalanan, tidak bergerak barang sedikit pun. Beberapa meter jauhnya, sebuah truk barang berukuran besar melintas dengan laju cepat, tidak menunjukkan tanda-tanda akan memerlambat lajunya.

Selama sepersekian detik, otak Joon Myeon bekerja dengan begitu cepatnya. Kini, ia mengerti. Takdir tidak pernah sepenuhnya berubah. Waktu akan tetap memisahkan mereka. Cengkeraman tangan kematian semakin mendekat dan salah satu dari mereka sudah pasti menjadi korbannya.

Takdir tidak pernah berbaik hati kepada mereka. Joon Myeon-lah yang terlalu naif, berpikir bahwa mereka telah lepas dari belitan bahaya. Ia salah. Kejadian yang sebenarnya, kecelakaan yang akan merenggut nyawa sebagai imbalannya, baru akan terjadi.

Jangan Jae In, jangan! Demi Tuhan, aku akan memberikan nyawaku sebagai gantinya, asalkan gadis itu bisa tetap hidup!

Pikiran-pikiran itu mulai bergema dalam benak Joon Myeon, berulang-ulang layaknya mantera yang menyuruhnya untuk menyelamatkan Jae In. Tanpa pikir panjang, Joon Myeon melangkahkan kakinya lebar, menghapus jarak di antara mereka. Sekuat tenaganya, ia mendorong tubuh Jae In hingga gadis itu terhempas ke sisi jalanan. Bersamaan dengan hal itu, sesuatu yang berat dan kasar menabrak sisi tubuhnya, membuatnya terpental sejauh beberapa meter.

BRAAAKK!!!

Suara teriakan terdengar dimana-mana, bau anyir darah mulai mengambil alih indera penciuman Joon Myeon. Ia bisa mendengar suara berderak keras, mungkin bunyi tulangnya yang patah saat terhantam oleh truk tadi. Pandangannya mulai memudar, satu-satunya hal yang bisa ia pikirkan adalah keselamatan Jae In.

Gadis itu selamat… pengorbanannya tidak sia-sia…

Oppa… Joon Myeon Oppa…

Gadisnya… itu suara gadisnya…

Joon Myeon berusaha membuka matanya yang terasa berat, hanya untuk menatap Jae In yang sedang merangkak mendekatinya. Gadis itu berlinang air mata, tubuhnya bergetar hebat karena terus-menerus terisak.

“Maaf… maafkan aku, Oppa… aku ini gadis yang ceroboh… aku tidak bisa menjaga keselamatanku sendiri… aku… aku…”

Joon Myeon tersenyum lemah, mungkin senyuman terakhir yang ia tunjukkan dalam hidupnya. Ia meraih tangan Jae In, menggenggamnya erat. Joon Myeon tahu, sudah saatnya ia pergi. Inilah harga yang harus dibayarnya, dan ia telah siap untuk itu. Hanya satu hal lagi… satu hal yang harus ia ucapkan pada Jae In sebelum rohnya meninggalkan raganya yang rusak parah.

“A… aku… tidak… pernah… menyesal untuk… menyelamatkanmu,” ucap Joon Myeon terbata. Ia terbatuk sebentar, sedikit memuntahkan darah merah pekat yang segera menciptakan noda pada jalanan beraspal itu.

Oppa, kau tidak boleh berbicara seperti itu, kau akan selamat… kau…”

Joon Myeon menggelengkan kepalanya sedikit, sebatas sisa-sisa tenaga yang dimilikinya. Gadis itu harus mengerti bahwa ia memang tidak ditakdirkan untuk selamat.

“Sudah saatnya… uhuk… bagiku… untuk pergi…” gumam Joon Myeon sembari menutup matanya pelan.

OPPA! KAU TIDAK BOLEH PERGI! BUKA MATAMU, KIM JOON MYEON!”

Tidak ada reaksi. Joon Myeon bisa mendengar teriakan itu, namun ia sudah tidak mampu untuk membalasnya. Ia bisa merasakan tubuhnya yang terasa semakin ringan, jiwanya yang mulai terpisah dari raganya.

Kau menyesal?”

Suara itu… Joon Myeon mengenalinya. Bukan, bukan suara milik Jae In walaupun gadis itu masih tetap berteriak histeris. Suara itu adalah suara yang hadir dalam mimpinya, suara yang telah memberikan Joon Myeon kesempatan untuk memutarbalikkan waktu.

“Menyesal? Haruskah aku?” balas Joon Myeon dalam hati.

Jangan membohongiku, Kim Joon Myeon. Tujuanmu dalam memutarbalikkan waktu adalah mendapatkan Jae In kembali, menyelamatkan hubungan kalian…”

“Aku…”

“Hubungan kalian akan tetap berakhir, tidak peduli meskipun kau terus-menerus memutarbalikkan waktu. Ingatkah kau, akan apa yang kukatakan dulu?”

Joon Myeon merenungi kata-kata itu, memorinya menghadirkan kembali sebuah suara yang dulu pernah memperingatkannya.

Selalu ada hal yang tidak akan pernah kembali, tidak peduli seberapa besar atau seberapa keras kau berusaha untuk mendapatkannya…

Joon Myeon ingat itu. Ya, harus diakui, pada saat itu keinginan Joon Myeon adalah menyelamatkan mereka berdua dari kecelakaan itu. Ia tahu bahwa ia egois, tetapi ia ingin hubungan mereka terus berlangsung.

Tetapi tetap saja, kenyataan berkata lain. Pada akhirnya, Joon Myeon haruslah mati sebagai ganti dari nyawa Jae In. Pada akhirnya pula ia mengerti, bahwa keinginannya dulu tidak akan pernah bisa terkabul.

“Sudah mengerti? Kim Joon Myeon, seberapa pun kerasnya kau berusaha untuk mendapatkan kembali hubunganmu dengan Jae In, kau tidak akan pernah bisa menggapainya. Kalian harus berpisah seperti ini, itulah yang sudah tertulis di atas takdirmu dan takdirnya…”

“Aku mengerti… dan aku sadar akan hal itu. Detik dimana aku melompat untuk menyelamatkannya, detik dimana aku mengorbankan nyawaku sendiri, segalanya telah menjadi jelas bagiku,” jawab Joon Myeon yakin.

“Jadi, ada penyesalan? Mungkin saja kau berharap kau yang bertahan hidup, jika pada akhirnya kau tahu semua akan menjadi seperti ini…”

Penyesalan?

Apakah ia menyesal karena telah mengorbankan nyawanya sendiri? Karena telah begitu bodohnya termakan oleh egoisme cinta sehingga rela melakukan apa saja?

Adakah perasaan menyesal itu dalam dirinya, walau hanya setitik saja?

Joon Myeon mencari dan terus mencari. Ia menilik ke setiap relung hatinya, ke dalam sudut-sudut jiwanya.

Menyesalkah ia?

Tidak.”

Joon Myeon kaget saat jawaban itu terlontar dengan mudahnya, tanpa ia sadari sebelumnya. Aneh, mendadak ia merasa tenang dan nyaman. Seakan-akan ia baru saja mengucapkan sesuatu yang benar, melakukan hal yang berguna dalam sekian tahun masa kehidupannya.

Aku, Kim Joon Myeon, tidak akan menyesali keputusan yang telah kubuat. Aku mencintai Jae In, cukup besar sehingga segala penyesalan yang seharusnya kumiliki telah luntur karena rasa cinta itu sendiri,” Joon Myeon menegaskan ucapannya tadi.

Bagus. Kalau begitu, sudah saatnya bagimu untuk pergi…”

Bersamaan dengan kata-kata itu, cahaya terang mulai melingkupi diri Joon Myeon. Cahaya yang hanya bisa terlihat olehnya. Joon Myeon bisa merasakan ketika ia melangkah keluar dari raganya, berdiri di sana sembari mengamati tubuh rusaknya yang terbaring di atas jalanan. Matanya menangkap sesosok makhluk yang berdiri di samping gerbang cahaya, mungkin menunggu untuk mengantarkannya ke alam yang lain.

Ia memantapkan hatinya, kemudian berjalan menghampiri Jae In yang masih berlutut di samping tubuh Joon Myeon. Ragu-ragu, ia menyentuh pundak Jae In kemudian merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. Joon Myeon tidak begitu yakin, akankah Jae In merasakan kehadirannya yang sudah berupa sesosok roh ini?

“Hiduplah, Hwang Jae In… demi aku, hiduplah dan berbahagialah…”

Oppa?”

Joon Myeon bisa merasakan kepala Jae In yang berputar ke kanan dan kiri dengan bingung. Mungkinkah gadis itu merasakan kehadirannya? Semoga saja…

“Jae In-a… seperti yang sudah kukatakan kemarin, hari ini aku akan mengulang ucapanku itu lagi…”

Melihat ekspresi Jae In yang tampak lebih tenang, Joon Myeon yakin gadis itu bisa mendengarnya. Sudah saatnya… inilah kata-kata terakhirnya sebelum ia menghilang ke dalam cahaya…

“Hari ini, untuk sekali lagi dan juga untuk yang terakhir kalinya… aku, Kim Joon Myeon, telah memberikan cintaku padamu untuk sepanjang hari ini. Dan hingga akhir hidupku, aku telah memberikan seluruh rasa itu hanya kepadamu seorang. Selamat jalan, Jae In-a…

Joon Myeon menarik dirinya menjauh, siap melangkah menuju alam lain yang telah menantinya. Ia sudah menyampaikan semua pesan terakhirnya, bebannya kini sudah terangkat. Samar-samar, ia bisa mendengar suara bisikan Jae In yang menembus ke dalam jiwanya, membuat seulas senyum tulus tersungging di wajah tampannya.

“Terima kasih Joon Myeon Oppa… kesempatan yang telah kau berikan padaku ini, aku berjanji akan menjaganya sebaik mungkin.”

.

.

.

.

.

.

Sebagian dari pengorbanan yang kita lakukan mungkin saja membawa hasil yang kita harapkan, sebagian lagi tidak. Hanya pengorbanan yang didasari oleh rasa cintalah yang tidak akan meninggalkan duka di hati pelakunya.

–END– 

19 thoughts on “[oneshot] Reverse

  1. *standing applause*
    baguss mer… >< keren… daebak….
    awalnya kk pikir Jae In yang bakalan tetep meninggal, ternyata salah.
    tapi bakalan lebih seru kalo tetep Jae In yang meninggal, kan takdir dia emang udah tertulis begitu '_'v hhe…

    selebihnya bagus dah.. ^,^b

    Like

    • tsukiyamarisa

      makasih kaaak 🙂
      hmmm, awalnya sih aku emang mau bikin jae in yang meninggal, tapi ntar ceritanya bisa ketebak kak vin dong 😛
      habisnya aku menyesuaikan sama tema lombanya tentang pengorbanan, dan emang akunya aja yang sadis mau bikin bang joon myeon mati #digeplak

      thank kak vin 😀

      Like

      • oh tema lomba ff-nya pengorbanan toh 😮 cocok deh kalo tema-nya itu xD
        tapi tetep aja kesian joon myeon-nya :p

        setuju tuh sama komen mega, narasi kamu bagus mer, keliatan banget suka baca novel, narasinya kayak orang yang udah berpengalaman ^^ *standing applause lagi*

        Like

      • tsukiyamarisa

        aku aja nulisnya sampe nangis gara2 kasian sama joon myeon-nya kok -__-”

        aheehe, jadi malu nih kak :3
        iya sih, emang kerjaanku tiap hari baca novel xD
        thanks lagi kak *hugs*

        Like

  2. kimsungrin

    *ikutan standing applause bareng al*
    ini mirip mv severely nya ft island ya, apa emang terinspirasi dari sono mer? kkkkk~
    keren banget! aku selalu suka narasimu mer huaaaaaaaaaaaaa aku mau keren begini bikin ff nya hehe.
    btw, kirain aku ff vengeance itu yang kamu tag terntaya bukan …_…. aku tunggu yaaaa 😀

    Like

    • tsukiyamarisa

      sedikit inspired by severely + in heaven sih kak 😉
      hahaha, thanks kak… jadi malu nih aku dipuji keren narasinya *blush*

      kak meg nungguin vengeance yaa? weekend ini yah kak, aku lagi banyak ulangan nih -__-“

      Like

      • kimsungrin

        hemhemhem baiklah, weekend iniaku gath loh sama boice ina haha #jadicurcol -_-
        abisnya aku bisa memperbanyak kosa kata bila baca ff kamu hoho. memperbanyak ya, bukan mengcopy xD
        suho, I LOVE YOU NAK! xD

        Like

  3. Pertama, pas baca kim joon myeon, aku nyebutnya kim jong min, namanya susah mer-__- *gapenting

    Yang kebayang si kepalaku, mini drama SS501 yg di jepun, mv severely sama mv 2AM yang you wouln’t answer my call hemm

    Karna mirip severely aku udah nebak ceritanya bakal begitu xD *ditendang xD

    Tapi narasinya keren merrr *clap clap clap*

    Sekian xDD

    P.s:
    Sebenernya aku mau komen sebelum jam 12. Sebelum tanggal 17 maksudnya. Happy birthday again mer *ini closing* *apa coba* xD

    Like

    • joon myeon sama jong min perasaan jauh deh .__.
      kwahahaha~ emang ini idenya dari mv severely dengan pengembangan seperlunya kok (??)

      anyway, makasih tan buat hadiah ultahnya 🙂
      ditunggu komennya di chapter 6-7 vengeance dan di FFku yang lainnya juga 🙂
      *hugs* thank youuu ikatan batiiin :**

      Like

  4. sebenernya ide ceritanya bukan hal yg baru.. udh bca berkali-kali jenis crt gini.. dan tiap tulisan punya poin dan cerita sndiri..
    over all aku suka cara km ngemas cerita.. mf bukan mksd apa” baru bca disini dan komen’y udh bgini hahaha *bowing*
    tp bnran aq suka..
    emmm… bakal baca ff yg lain boleh ya 🙂

    Like

    • ahahahaha, nggak apa2 kok ^^ tenang aja author-nya gak gigit kok XD

      dan ya, emang saya akui juga sih, kalo ide kaya gini emang bukan hal baru~ kalau mau jujur, ini aja aku dapet ide setelah nonton MV FTIsland yang Severely 🙂
      dan (lagi) makasih ya udah suka sama cara aku bercerita (?) dan juga udah kasih review 😀
      karena emang fanfic ini lebih aku tonjolin ke karakterisasi dan cara penulisannya 🙂

      baca yang lain? boleeeeh banget kok ^^
      cuma kalo nemu yang masih aneh ceritanya (?) artinya itu buatan saya tiga tahun yang lalu, jamannya masih anak smp labil XDD

      selamat membacaaa 🙂

      -regards,
      Tsukiyamarisa

      Like

  5. Annyeong! Izin mampir ya, abis aku kepo sama blog kamu(?) hehe
    tapi kekepoan ini berujung dengan satu hal yang baik, bikin aku suka sama blog ini ><
    Sebenernya tema kayak gini klise, dan yang aku suka banget dari ff ini karena kamu dengan hebatnya bisa mengemasnya jadi satu karya yang nggak biasa. Ga ketebak sama sekali, aku aja sampe nangis karena ga nyangka banget akhirnya bakalan kayak gini T_T Pesannya tersampaikan dengan jelas tapi nggak maksa, dibiarin ngalir aja gitu beiringan sama ffnya, jadi lebih "dalem" x)
    Hebat hebat, saluut sama author yang satu ini (Y)
    Keep writing!^^

    Like

    • wah, beneran? blog ini tuh sederhana bin polos banget, mana aku orangnya gaptek lagi.. tapi, terimakasih sudah di kepoin dan disukain juga… hehehe xD
      ah! dan thanks banget atas pujiannya~ aku emang nggak gitu pinter mikir tema2 yang berat dan nggak klise, jadi… cuma cerita sederhana macem inilah yang nampang di blog ini~
      jujur nih, komen kamu bikin aku ikut terharu bacanya :’) *ambil tisu*
      thanks ya atas kunjungan dan komentarnya 😀

      Like

      • Iyaaaa, hohoo, kan don;t judge a book by its cover. aku suka baca cerita-cerita kamu abis feelnya dapet aja gitu. Romantis tapi ga cheesy ;’D haha kayaknya kesannya gimana gitu ya dikepoin :p
        sama-sama^^ nah itu!! aku juga jujur kalo miih tema pasti klise banget, tapi gapapalah aku malah suka yang klise-klise. abis ceritanya kadang malah lebih romantis ketimbang yang berat gitu haha
        huwaaaa jangan nangis Dx entar aku ikutan nangis lagi nih hahahaha sama-sama ^^

        Like

  6. akhirnya saya mampir juga disini, maap ya mer jarang mampir. habis nama blognya berubah(?)
    btw, tulisan kamu emang berkembang. salut saya *tepuk tangan* jadi malu karena tulisan saya masih jalan ditempat aja xD
    gak mau komentar banyaklah, gak tau mau komentar apa lagi. eh btw, banyakin nulis oneshot dong, jangan yang berchapter-chapter… saya males baca fic yang berchapter-chapter :3 /reader kurang ajar/

    Like

    • woaaaaaa, kamu baca fanfic-ku yang ini juga ternyataaa O_O
      hahaha, habis pen name aku ganti, makanya nama blog ikutan aku ganti… biar keliatan lebih keren gitu (?)

      heummmm, anyway… aku baru tahu kalo kamu bisa muji akuuu /terharu ;___;
      tumben nih, biasanya kamu sama intan kan rusuh kalo komen, akhir-akhir ini kalian udah nggak rusuh nan geje :3
      ah, tulisanmu itu harusnya cepet berkembang kok kalo kamu mau nulis terus~ toh udah bagus mereka, cuma kurang nambahin dikiiiit aja pasti udah jadi wow 😀

      banyakan oneshot? banyak kok udahaaaan.. tuh cek di pojok kanan atas yang tulisannya Fic-Shelf… ada lumayan kok yang oneshot/vignette/ficlet atau malah drabble…. (ceritanya promosi)
      soalnya aku emang banyak nulis oneshot, cuma ga di post disini :B

      makasih ya nabjoooong /eh /dibuang/ xD
      bercanda, makasih ya pandaaaa! ayo semangat nulis sama kuliahnya 😀

      Like

      • semangat amat mer nge-replynya.. panjang bener xD /dihajar
        nah loh, kapan saya ngerusuh? kan saya selalu baik kalau komen sesuatu xDD lagian saya mau jadi panda baik sampai ulangtahunnya kyu /apa pula ini/

        lagi males baca yang berchapter chapter mer, makanya langsung cari yang oneshot dan nemunya ini. u,u dan kayanya cuman yang ini yang belum saya baca /ketahuan deh jadi siders/ xDD makanya mer banyakin oneshotnya yak! dipublish itu oneshotnya… jangan di simpen terus. ntar jamuran loh :3

        iyo mer.. ceritanya ini lagi mengembalikan bakat nulisku yang menghilang, makanya cari-cari bacaan bermutu /eh /salah… akhirnya terdampar disini setelah pusing dan panas baca sastra lama XDD

        Like

      • hahaha, okay, kamu lagi baik dan nggak ngerusuh deh, LAGI lho ya xD
        dan soal komen panjang, kayaknya ini udah kebiasaan deh.. di IFK sono yang pada komen panjangnya udah kaya drabble, makanya aku jadi kebiasa nge-reply panjang-panjang *lol*

        eumm, oneshot-ku yang jadi udah ku publish semua kok.. cuma ya itu, kebanyakan di IFK publishnya…
        mau disini, aku males nih nge copas sama ngerapiinnya xD

        wahahaha, jangan baca sastra lama lah pan, adanya otak makin berasap~
        bacaan bermutu? wahaha, berarti tulisanku termasuk bacaan bermutu dong? /pede /dibuang

        humm, apa mau baca yang aku protect itu? ntar aku DM passwordnya 😉

        Like

Leave a reply to tsukiyamarisa Cancel reply